Senin, 05 April 2010

Padepokan Seni Mangun Dharma Wijaya Kusuma

M. Soleh Adi Pramono yang akrabnya dipanggil pak sholeh adalah seorang koreografer, dalang, dalang ruwatan, dosen tamu dan artistik direktur Pusat Seni Mangun Dharma. Misinya adalah untuk mempertahankan semangat seni tradisional dan ritual lokal dengan membawa mereka ke masyarakat luas. Tradisi di mana sebagian besar telah menghilang sepanjang sisa Jawa, pak Soleh mempertahankan tradisi membuat persembahan rohani yang mengubah kehidupan acara-acara seperti pernikahan, circumcisions, 7-bulan upacara untuk bayi yang belum lahir, upacara menyentuh tanah, dan pemurnian masyarakat, slamatan desa, dan tradisi-tradisi lainnya.
Istilah “Perkembangan” perlu disimak lebih intensif, mengingat istilah tersebut dimaknai sebagai sebuah pelipat gandaan, bertambah maju, dikenal semakin luas; besar, atau kuat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 538). Tentunya di antara pengertian tersebut mengisyaratkan “ada pokok” yang tumbuh secara berkesinambungan. Pandangan tersebut merupakan teori yang sangat popular di lingkungan pengkajian Seni di Indonesia. Salah satu pakar dibidang teori tersebut adalah Prof. Dr. RM. Soedarsono.
Teori tersebut sangat intens mencermati fenomena kesenian yang ditropong dari sisi kontinuitas (kebersinambungan); teori tersebut secara teknis memfokuskan pada aspek “fungsi kesenian”; artinya ranah pengkajiannya lebih condong ke aspek sosiologis-historik; hal ini memandang “material” secara diakronis, tetapi lebih menekankan pada pola penurunan genetikan interlektual dan kebiasaan budaya sebuah masyarakat; pandangan strukturalisme menekankan pada aspek Sintakmatis-Paradigmatik. Seperti pikiran Soenarto Tomer dalam salah satu makalahnya sebagai berikut:

…kesenian topeng Panji Jabung, Kedungmonggo, dan tempat-tempat lain di sekitar Malang, adalah sisa-sisa peninggalan Topeng Panji dari zaman Singasari dan Majapahit. Dengan melalui kemungkin – kemungkian pasang surat, (tidak mustilahil lebih banyak surutnya, dan bahkan pun berjalan terputus-putus untuk kemudian bersinambungan lagi), kesenian Topeng Panji itu berkembang secara alami dari masa ke masa, sampai akhirnya mencapai wujud yang sekarang. Karena perkembangannya yang alami itu, maka sedikit banyak menyimpan orsinalitasnnya (Timoer, 1989: 13).


Wayang topeng yang muncul di Jawa Timur di anggap sebagai “akar” yang memberikan bentuk dan warna pada berbagai jenis wayang topeng yang berkembang di Jawa. Hal ini menyiratkan adanya uapaya mencermati eksistensial wayang topeng ”wetanan” dalam ruang lingkup multidisipliner, maka hal tersebut mengisyaratkan adanya sebuah cara pandang lama yang bersifat konservatif. Artinya nilai-nilai lama yang berkembang dalam masyarakat sebagai satu-satunya upaya konstruktif. Hal tersebut tidak terlalu “berdosa” dan memang secara fungsional semua orang masih mendang sebuah kebutuhan “primer”. Untuk memberikan sebuah alternatif cara pandang yang berbeda penulis menyodorkan sub topik yang akan dikemukakan pada makalah ini, yaitu Kontinuitas dan Dis-kontinuitas Wayang Topeng Di Malang. Topik ini dimaksudkan memaparkan tentang “kebersinambungan dan ketidak berkesimbanguan”. Sebab selama ini sudah banyak tulisan-tulisan yang mencoba mencermati fenomena kontinuitas (kebersinambungan); artinya semua persoalan diarahkan mencari ”akar”, pokok dari sebuah permasalahan pertumbuhan wayang topeng di Malang, serta mencari pola-pola pencabangan tentang gaya dan berbagai perbedaan yang ada.

KONTINUSITAS: ”model” Membangun Struktur
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, bahwa teori “kontinuitas” menjadi dasar untuk mencari sebuah model konstruktuf dari seni pertunjukan yang masih dapat direproduksi pada masa kini. Pikiran tersebut membentuk sikap yang selalu mencari pembenaran tentang fenomena masa kini, sehingga seolah-oleh fenomena masa kini tidak mampu membangun eksistensialnya sendiri. Pola pemikiran “kontinuitas” tersebut dapat disimak seperti pernyataan Soenarto Timoer, sebagai berikut:

…Topeng Panji Jabung dan Kedungmonggo yang sekarang. Jadi setelah 40 tahun lebih tidak mengalami perubahan busana yang berarti. Maka tidak jauh meleset kiranya, kalau kita berasumi, bahwa 40 tahunan sebelumnya 1938 (berdasarkan penelitian TH. Pigeaud) atau lebih, mungkin seabad, dua abad, tiga abad, atau empat abad sekalipun, mengingat kemiripannya dengan corak dandanan busana yang dipahatkan pada relief candi candi Jawa Timur, keadaannya masih tetap sama dengan coraknya yang sekarang. Dengan demikian pertunjukan Topeng Panji dari Jabung dan Kedhungmonggo boleh dikatakan masih memiliki orsinalitasnnya (Timoer. 1979/80: 21).


Sehingga terjadi pola pembenaran yang sifatnya fokloris, seperti pernyataan M. Soleh Adipramono pimpinan Padepokan Seni Mangundharmo dari Dusun Tulus Besar – Tumpang adalah salah satu keturunan dalang topeng bernama Kik Tirtonoto. M. Soleh Adipramono yakin bahwa tokoh bernama Reni dari Dusun Palawijen se zaman dengan tokoh topeng dari Pucangsongo bernana Kik Ruminten.
Kik Tirtonoto Tirtonoto pernah bercerita pada M. Soleh Adipramono, sebagai berikut:

…Ketika terjadi banjir kali Amprong; sungai yang bermataair di pegunungan Tenggger. Ruminten seorang penduduk Desa Pucangsonggo, kecamatan Pancokusumo pergi melihat sawahynya yang tergenang air. Waktu itu air masih pasang, sawah-sawah di desa itu semuanya terendam, bahkan di beberapa bagian diterjang derasnya air bah. Tiba-tiba didekat Ruminten terdapat potongan kayu, penduduk se tempat menyebut dengan istilah: Dugel. Batang kayu yang hanyut itu kemudian diambil; dengan harapan dapat digunakan bediang (perapian untuk penghangat ruangan). Setelah kayu tersebut dikeringkan, kemudian dibakar. Ternyata kayu tersebut tidak termakan api. Kemudian timbul niat untuk dijadikan topeng. Dari potongan kayu yang kurang lebih 50 Cm itu dibelah dan dipotong menjadi 4 bagian, masing-masing dijadikan topeng Klana, Gunungsari, Panji Asmorobangun, dan Patrajaya (Adipramono, wawancara tanggal 3 Januari 2003).

Topeng-topeng itulah dianggap pertama kali sebagai “cikal bakal” keberadaan Wayang Topeng di Pucangsanga sekitar awal abad XX. Bisa jadi keberadaan topeng di Pucangsanga tersebut yang pernah dicatat oleh Th. Pigeaud dari keterangan seorang lurah bernama Saritruno, di Pucangsanga. Kek Ruminten adalah kemenakan dari Reni, pengukir topeng dari Dusun Palawijen, Pigeaud mencatat;

Pada tahun 1928 di Kabupaten Malang terdapat 21 koleksi topeng. Pemain-pemain topeng yang terkenal asalnya dari desa Pucangsongo di kecamatan Tumpang; di zaman dahulu kepala desa tersebut, yang bernama: Saritruno, terkenal karena pandai menari topeng. Belum lama ini di Malang dan sekitarnya semua pemuda dan priyayi harus dapat menari topeng; karena itu pada pesta-pesta tidak jarang tari topeng dilakukan oleh para priyayi…topeng masih dibuat di kecamatan Karangploso (sekarang termasuk wilayah kecamatan Belimbing – Kota Malang) (Pigeaud. 1938: 217).

Karimoen pimpinan Wayang Topeng Asmorobangun di Desa Kedungmonggo (87 th) juga membenarkan bahwa pemahat topeng yang terkenal di Malang dari Karangploso yaitu di Desa Palawijen, sekarang Kecamatan Blimbing Kota Malang yang bernama: Reni. Reni adalah guru dari Gurawan dari Dusun Mbangeran – Wijiombo – Gunungkawi. Chattam AR mendapat data tentang orang yang bernama “Gurawan” adalah................................

Sejarawan Onghokham, juga mencatat kisah tentang Reni dan kelompok Wayang Topeng dari daerah lain. Onghokham juga secara khusus menceritakan tentang Reni, kaitannya dengan tokoh wayang topeng dari Desa Jabung, sebagai berikut:

In the 1930’s a well to do peasant called Reni live in this village, he was on of the gretest topeng carvers of the Malang style and led one of the best wayang topeng troupers of his time. In today’s wayang topeng world of Malang the village of Polowidjen is best known as Reni’s village. In his day the wayang topeng achieved one of its hig points. This development was certainly partly due to the patronage of the then bupati of Malang, R.A.A. Soeria-adiningrat, who supplied Reni with his matrials (gold leaf, good point, wood) and helped set artistik standards (Onghokham. 1972).

Pertunjukan wayang topeng di daerah Malang sejak zaman popuolaritas Reni telah tersebar di banyak tempat, khususnya di desa-desa. Soenarto Timoer juga memperhatikan persebaran Wayang Topeng, meliputi: Wajak, Dampit, Senggreng, Ngajum, dan di daerah lainnya. (Tomoer, 1989) Oleh sebab itu, tidak mustahil, jika sekitar tahun tahun l970-80-an masih ditemukan informasi tentang keberadaan tokoh-tokoh wayang topeng yang tersebar di berbagai desa di Kabupaten Malang. Seperti ditemukannya salah satu tokoh wayang topeng yang berusia 100 tahun (1985) yang bernama Wiji dari Desa Kopral Sumberpucung. Wiji memiliki sejumlah pengalaman yang pada umumnya tidak berbeda dengan tokoh-tokoh Wayang Topeng yang lain, seperti halnya Reni. Mbah Wiji yang pernah dikenal sebagai dalang wayang topeng, pengukir topeng, dan penari. Topeng-topengnya banyak dibeli oleh perkumpulan Wayang Topeng di Desa Jenggala, Kecamatan Kepanjen.
Seorang penari dan pemahat topeng, bernama Kusnan Ngaisah, lahir tahun 1928 di dusun Slelir, desa Bakalan Krajan, kota Malang. Sekarang Kusnan Ngaisah tidak lagi menekuni Wayang Topeng, karena membuat topeng tidak dapat memberikan penghasilan yang cukup. Sehingga Kusnan memilih menjadi tukang kayu dan bangunan.
Kusnan Ngaisah berhenti menjadi penari topeng, pengukir topeng dan sekaligus pempinan wayang topeng di desanya sejak tahun 1960-an. Karena wayang topeng terdesak popularitas Ludruk, akibatnya tanggapan menjadi berkurang. Di samping itu juga sangat sukar melakukan kaderisasi; para pemuda di desanya sudah tidak tertarik menjadi penari.
Perihal perkembangan wayang topeng di Dusun Slelir. Kusnan banyak belajar dari kakek mertuanya, yaitu Embah (kakek) Nata. Penduduk se tempat menyebut Yai Nata. Yai Nata adalah salah seorang pengukir kayu, termasuk piawai mengukir topeng. Waktu itu, Yai Nata juga mengenal pengukir topeng dan sekaligus penari topeng yang terkenal bernama Reni dari Polowijen.
Jika Reni tinggal di daerah Malang bagian utara, sedangkan Yai Nata tinggal di daerah Malang sebelah Barat. Sehingga perkumpulan topeng yang ada di Malang bagian barat dan selatan memesan topeng dai Yai Nata. Termasuk perkumpulan Wayang Topeng dari Desa Jatiguwi, Kecamatan Sumberpucung.
Keberadaan wayang topeng di Dusun Selelir berasal dari seorang pelatih dari Desa Panjer, Turen, Kabupaten Malang. Waktu itu sekitar tahun l930-an, Kusnan masih kecil, belum khitan. Tapi sudah sering melihat orang berlatih menari, waktu itu yang membuatkan perlengkatan pentas; termasuk topeng adalah Yai Nata. (Kusnan Ngaisah, wawancara tanggal 9 Januari 2003).
Ternyata sekitar tahun 1930-an, di Malang cukup banyak perkumpulan wayang topeng, satu perkumpulan dengan perkumpulan lainnya saling berhubungan. Kontak antara satu perkumpulan dengan perkumpulan lain dikarenakan oleh perlengkapan yang tidak dapat dibuat sendiri, khususnya topeng. Di samping berkaitan dengan aspek pelatihan tari. Seperti Samut sebagai penari Gunungsari, bersama dengan kik. Tirtonoto anak dari kik Rusmaman; penari gagahan dan juga pengendang, dan kik. Rakhim yang mengembangkan Wayang Topeng di Malang bagian Timur hingga tahun l970-an ( Murgiyanto & Munardi, 1978/79: 31).
Munardi salah seorang guru SMK IX (d/h SMKI) Surabaya yang mulai tahun l972 tertarik dengan keberadaan wayang topeng di Malang. Kemudian beliau mengadakan pengamatan perkembangan wayang topeng di Malang. Kemudian pada seniman-seniman pertunjukan yang tergabung di Dewean Kesenian Surabaya. Sejak saat itu, AM Munardi secara khusus mencurahkan perhatiannya pada perkembangan wayang topeng di Malang, bahkan telah menulis sebuah buku tentang Wayang Topeng Malang bersama Sal Murgiyanto. Tulisannya mengimformasikan sejumlah lokasi yang memiliki perkumpulan wayang topeng, sebagai berikut:

Di masa lalu pertunjukan Topeng Malang agaknya tersebar luas di berbagai wilayah kebupaten Malang; Dampit, Precet, Wajak, Ngajum, Jatiguwi, Senggreng, Pucangsanga, Jabung, dan Kedungmongoo. Akan tetapi sekarang (akhir tahun 1970-an) kecuali di Jabung dan Kedungmonggo, kehidupan wayang topeng di daerah-daerah lain nampak telah sangat menurun karena beberapa sebab, sehingga dewasa ini para pemain dari desa-desa yang lain banyak yang kemudian bergabung dengan rombongan wayang topeng dari dua desa yang disebutkan terakhir: Jabung, Kecamtan Jabung bekas Kawedanan Tumpang dan desa Kedungmonggo – Karangpandan, Kecamatan Pakisaji bekas Kawedanan Kepanjen. (Murgiyanto & Munardi, 1978/79: 7-8)

Sepanjang tahun 1980-an hingga tahun 1990-an, partisipasi masyarakat dan juga sejumlah instansi swasta dan pemerintah sangat besar, hal ini dibuktikan adanya usaha-usaha pemasyarakatan kembali pertunjukan wayang topeng yang ada di berbagai daerah. Kini perkumpulan yang masih dapat tampil adalah: Perkumpulan Wayang topeng “Karya Bakti” dari Desa Jabung yang diketuai oleh Parjo, perkumpulan wayang topeng “Srimarga Utama” dari Desa Glagahdowo yang dipimpin oleh Rasimoen, perkumpulan wayang topeng “Asmarabangun” dari Desa Kedungmonggo, dan perkumpulan wayang topeng “Candrakirana” dari Desa Jambuer pimpinan Barjo Djiyono, dan Padepokan Seni Mangun Dharma pimpinan Moch. Soleh Adipramono.
Chattam AR seorang seniman Wayang Topeng, salah satu murid dari Karimoen menceritakan perihal salah seorang tokoh wayang topeng bernama, Wiji dari Dusun Kopral, Sukowilangun. Wiji merupakan salah satu tokoh yang sejajar dengan Reni atau Yai Nata. Karena Wiji sudah berusia lebih dari 90 tahun, maka tidak banyak diketahui oleh seniman muda di Malang. Wiji baru diketahui ketokohannya oleh seniman-seniman tari di Malang sekitar tahun 1985.Waktu itu Wiji sudah berusia sekitar 110 tahun lebih (tahun 1985. Waktu Wiji Masih muda seringkali pentas di pendapa Kabupaten Malang. Waktu itu yang menjadi Bupati di Malang adalah Raden Djapan (sekitar tahun 1950-an)..
Wiji menceritakan pada Chattam AR, perkumpulan wayang topeng yang dipimpinnya menyelenggarakan pentas terakhir di pendapa Kabupaten Malang sekitar tahun 1960. Setelah itu, banyak anggotanya yang memutuskan untuk mengikuti program transmigrasi ke Sumatra (Chatam AR, wawancara 3 Maret 2003).
Pada akhir tahun 2000, perkumpulan wayang topeng yang masih aktif pementasan berasal dari dua desa; (1) Perkumpulan Wayang Topeng Asmarabangun dari Dusun Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, (2) Perkumpulan wayang topeng Sri Margautama dari Dusun Geladahdowo, Kecamatan Tumpang.
Selain dua perkumpulan tersebut, juga ada dua perkumpulan yang termasuk perkumpulan topeng cukup tua di Malang. Tetapi karena mengalami kendala regenerasi, maka perkumpulan tersebut tidak dapat mengadakan pentas secara intensif.
Perkumpulan wayang topeng yang mulai surut tersebut adalah (1) Perkumpulan Wayang Topeng Galuh Candrakirana dari Desa Jambuwer-Kecamatan Sumberpucung pimpian Bardjo Djiyono, dan (2) Perkumpulan Wayang Topeng Wira Bakti dari Desa Jabung-Kecamatan Tumpang pimpinan Pardjo.
Keempat perkumulan Wayang Topeng yang dikemukakan tersebut secara bervariasi memiliki repertoar konvensional, yaitu kisah romantik yang disebut “Lakon Panji”. Adapun lakon-lakon yang dianggap tradisional, terdiri dari (1) Rabine Panji, (2) Saimbara Sadalanang, (3) Walangwati – Walangsumirang, (4) Gunungsari Kembar, (5) Panji Laras, (6) Panji Kembar, (7) Kayu Apyun, (8) Wadhal Werdhi, (9) Lembu Gumarang, (10) Melatih Putih Edan, (11) Sekar Tenggek Lunge Jangge, (12) Bader Bang Sisik Kencana, (13) Gajah Abuh atau Kudanarawangsa

Menyimak laporan Pigeaud (1938) pemukiman dan perekonomian di Malang sudah berkembang. Laporan beberapa Bupati yang memimpin daerah Malang (Kab.), tercatat nama-nama sebagai berikut: Raden Tumenggung Notodiningrat I (1819-1839), Raden Ario Adipati Notodiningrat II (1940-1884). Raden Tumenggung Notoniningrat III (….-1894), Raden Adipati Soerioadiningrat I atau Raden Sarip (…-1934), Ario Adipati Sam (1934-1945), Raden Soedono (…-1950). Priode pemerintahan Bupati Malang diambang zaman Kemerdekaan Republik Indonesia.
Berdasarkan informasi Pigeaud (1938) dari Bupati Malang Adipati Ario Surioadiningrat (wayang topeng di Kabupaten Malang tersebar di berbagai desa, sungguhpun Pigeaud (1938) melaporkan atas infromasi dari mantan Bupati Malang Adipati Ario Surioadiningrat I (1898-1934). Memunjukan, bahwa topeng merupakan ritus-magis yang dipatuhi oleh masyarakat di Malang. Di samping itu dimungkinkan pada waktu itu benar-benar menjadi sebuah sarana upacara, sehingga wayang topeng benar-benar mempu mengkonstruksi pikiran masyarakat ke masa silam;

Topeng pada mulanya dibuat dalam upacara kematian sebagai gambaran orang yang meninggal, yang kemudian dibuat sebagai gambaran roh nenek moyang. Maksud dari sebuah pertunjukan topeng pada awalnya adalah untuk “menghadirkan arwah nenek moyang” untuk menengok kerabat dan kaluarga yang masih hidup, dan dengan memakai kostum topeng serta perhiasan-perhiasan tertentu yang lain, penari topeng tersebut secara sementara menyediakan dirinya sebagai wadah atau rumah “roh” leluhur tersebut (Murgiyantyo, Sal & AM. Munardi. 1979/80: 20 –21).

Soenarto Timoer memberikan penegasan sebagai berikut:

Wayang mengemukakan tamsil ibart mistri kehidupan dengan menampilkan tokoh-tokoh yang dianggap mempersonfikasikan nenek moyang leluhur. Saya rasa istilah Belanda “Schimmenspel” lebih kena, karena “roh orang yang meninggal” . Ini sesuai dengan pula kehidupan budaya masyarakat animistik yang memuja roh nenek moyang yang sudah meninggal (Timoer, 1989: 8)

Suhardjo Parto dalam sebuah artikelnya berjudul: Bukan Animiseme Tetapi Shamanisme menjelaskan tentang wayang dan topeng, berdasarkan pandangan Eliade (1974), sebagai berikut:

Wayang dalam tradisi shamanisme berhubungan dengan pewarnaan wajah, dan hal ini berkaitan dengan upaya mengelabuhi arwah orang mati, jika shaman mengantarkannya menuju ke dunia arwah. Tarian shaman dan pewarnaan wajah telah mendasari tari topeng shamanistik (Parto, 1984: 303).

Murgiyanto & Munardi menjelaskan perihal pembuatan topeng sebagai rumah roh dan upacara kematian, sebagai berikut:
Topeng pada mulanya dibuat dalam upacara kematian sebagai gambaran orang yang meninggal, yang kemudian dibuat sebagai gambaran roh nenek moyang. Maksud dari sebuah pertunjukan topeng pada awalnya adalah untuk “ menghadirkan arwah nenek moyang” untuk menengok kerabat dan kaluarga yang masih hidup, dan dengan memakai kostum topeng serta perhiasan-perhiasan tertentu yang lain, penari topeng tersebut secara sementara menyediakan dirinya sebagai wadah atau rumah “roh” leluhur tersebut (Murgiyanto & Munardi.1979/88: 20-21).

DISKONTIUNITAS

Demikianlah, pola pikir “kontinuitas” yang sudah terbentuk dalam pikiran masyarakat secara luas. Hal ini juga dapat dibenarkan, karena kehidupan masa lalu memiliki “benang merah” dengan segala sesuatu yang sedang dinikmati pada masa kini. Sungguhpun demikian, setidaknya perlu berhenti sejenak, dan merenung sesaat, serta mengenali benar tentang kesadaraan kita pada saat ini. Apa yang kita pikirkan pada saat ini adalah sebuah pernyataan, sebuah ungkapan, sebuah gagasan yang memberikan arti penting agar kita mampu menghadirkan eksistensi secara otonom. Masa lalu adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dihapuskan, tetapi masa depan adalah sebuah kenyataan yang juga tidak dapat ditolak atau disangkal. Masa lalu yang lewat mengkonstruk pikiran sehingga kita memahami tentang “dunia” (dunia yang kita sadari), sungguhpun belum tentu itu merupakan realitas. Seperti pikiran tersebut di bawah ini;

Modernisasi dan pembangunan di dalam dua dekade terakhir ini telah membawa masyarakat kontemporer kita ke dalam berbagai sisi realitas-realitas baru kehidupan, seperti kenyataan, kesenangan, keterpesonaan, kesempurnaan penampilan, kebebasan hasrat. Akan tetapi, moderniasi dan pembangunan itu sebalinya telah menyebabkan kita kehilangan realias-ralitas masa lalu beserta kearifan-kearifan masa lampau yang ada di baliknya, yang justru lebih berharga bagi pembangunan diri kita sebagai manusia, seperti rasa kedalaman, rasa kebersamaan, rasa keindahan, semangat spiritualitas, semangat moralitas, dan semangat komunitas (Piliang, 1998: 29)

Kutipan ini menunjukan, bahwa pikiran kita benar-benar disibukan untuk berusaha menarik garis linier masa lalu dan melekakan sebagai sebuah tanda seru; bahkan lebih dari pada itu seolah-oleh menjadi isyarat agar apa yang mengalir deras bagaikan gelombang tampa ada tanggul penahan. Semua yang pernah ada akan terseret dan berserakan tampa arti, atau tidak mampu digunakan untuk menandai atau memberikan arti yang lebih besar pada kehidupan masa kini.
Penulis mencoba untuk memahami pikiran tersebut tidak dengan emosional; tetapi menyadari bahwa hidup ini adalah sebuah proses “dialegtika” yang menempatkan “fungsi” berhadapan dengan “kepentingan”. “Fungsi” dapat berkait dengan aktifitas dan material dan kepentingan merupakan motor penggerak yang bias menyeret ke arah tertentu.
Teori fungsional progresif ini melekat pada era modern dan konsep-konsep pembangunan. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah sikap memandang dan perlu sejenak menyadari tentang sesuatu yang telah kita alami. Apa yang telah mendorong ternyata tidak memiliki hubungan linier dengan masa lalu; demikian pula apa yang akan kita alami tidak memiliki hibungan, hokum sebab akibat sebagai sebuah dogmatis dapat dipertimbangkan. Tetapi jangkautan kedapan untuk bukan seperti seekor kuda yang menarik grobaknya. Semuanya bagaikan lapis (layer) yang satu dengan yang lain saling berdiri sendiri; kekterkaitan hanyalah sebuah realitas dialegtika antara “fungsi” dan “kepentingan”.
Keterpisahan (kesenjangan) itu memberikan arti penting untuk zamannya, bukan bagian masa lalu dan bukan untuk masa depan. Fenomena itu sekarang; saat sebuah proses sosial dan kesadaran kita saling bertautan secara interaktif berdasarkan kesepakatan dalam memfungsikan. Sehingga apa yang sedang kita lakukan sebenarnya tidak ada yang “hilang” atau “yang bertambah”. Realitas ada yang mampu kita pahami pada saat ini.
Pemahaman ini perlu untuk di coba di trapkan agar dapat melihat sebuah realitas seni pertunjukan; karena kesadaran pikir dengan cara “kontiunitas” adalah sebuah tafsiran yang setidaknya membawa “kepentingan” untuk memberikan kekuatan dalam pembenaran realias yang sedang terjadi sekarang. Padangan ini memang sangat sulit untuk dimulai, karena ketergantungan pikiran kita dengan pola pikir sebelumnya sangat besar; hal ini mengingat bahwa semua apa yang telah terbangun dalam pikiran kita adalah dikonstruksi oleh masa lalu. Tetapi bagaimana sebenaranya kita memandang realitas yang kita sadari sekarang dapat dimaknai sesuai dengan jiwa zaman kini.
Wayang topeng Malang pada masa kini, setidaknya dapat dipenggal pada sebuah tidik lapis sekitar tahun 1970-an, yaitu dimulai dari adanya ekspedisi dari DKS yang dikomandani oleh AM Munardi BA.
Munardi salah seorang guru SMK IX (d/h SMKI) Surabaya yang mulai tahun l972 tertarik dengan keberadaan wayang topeng di Malang. Kemudian Munardi mengadakan pengamatan perkembangan wayang topeng di Malang bersama seniman-seniman pertunjukan yang tergabung di Dewean Kesenian Surabaya. Sejak saat itu, AM Munardi secara khusus mencurahkan perhatiannya pada perkembangan topeng di Malang. Munardi kemudian berguru pada beberapa tokoh wayang topeng di daerah Timur, salah satunya adalah Samud. Penari legendaries yang memiliki pemahaman teknis yang bagus.
Sepotong data awal ini dapat disimak, bahwa kedatangan AM. Munardi BA ke Malang adalah sebuah upaya infentarisir materi untuk kepentingan kreativitas dan materi pengajaran di SMKI; hal ini terdorong oleh mencarian warna khas SMKI Surabaya agar memiliki identitas lokal yang jelas. Pemburuan ini sangat jelas, bawa bentuk dan sajian wayang topeng yang dipelajari AM. Munardi BA tidak mencari aspek-aspek orsinalitas, tetapi mencoba untuk mengangkat material yang memiliki kemampuan untuk dikembangkan sebagai modal kreatif; di samping mudah untuk dipelajari oleh siswa SMKI waktu itu.
Maka pada masa penjelajahan wayang topeng di Malang pada era tahun 1970-an itu diwarnai oleh sepirit pencarian materi kreatif dan kebutuhan materi pengajaran. Sehingga wayang topeng yang terangkat tidak menampakan aspek “magis dan religiusitasnya”. Mereka yang mempelajari atau yang menarikan sama sekali tidak menyadari aspek fungsi komunikasi spiritual penghormatan arwah nenek moyang.
Demikian juga para “maicenas” yang meletakan sikap sebagai “penyelamat” budaya dan dengan dalih mengambil cepat-cepat segala yang masih dapat diselamatkan. Energi yang dikobarkan untuk kepentingan tersebut tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan sebagai usaha konservasi. Hal ini telah dibuktikan, bahwa hadirnya Konri (Konservatori) pada tahun 1960-an yang berhasrat menciptakan titik sambung agar tidak terjadi pemutusan budaya. Tetapi yang terjadi adalah sebuah percepatan dan atau pengikisan secara lebih nyata. Fenomena dan cara bersifat inilah yang oleh Pilliang di sesalkan, maka dibutuhkan upaya baru untuk bersikap “baru” dalam memandang sesuatu sehingga “fungsi” dan “kepentingan” melahirkan nilai-nilai, kearifan, atau moralitas yang sesuai dengan jiwa zamannya.
Fenomena yang dapat disimak dari sepenggal cara bersikap, seperti menculnya “wayang topeng anak-anak” di lingkungan Wayang Topeng Asmorobangun dari Dusun Kedungmonggo Pakisaji. Menginjak tahun 2004, ketika anak wayang topeng yang dewasa sudah mulai tidak bersemangat, kemudian muncul pemain wayang topeng anak yang dilahih oleh Handoyo anak Taslan Harsono. Pada penggalan fenomena dimasa lalu tidak terekam adanya “wayang topeng anak-anak”. Pada sisi pandangan “kontinuitas” hal ini bernilai positif karena dapat dimaknai sebagai kemajuan. Tetapi tidak demikian dalam pandangan “DisKontinuitas”. Fenomena ini adalah sebuah petuang bagi orang dewasa agar dapat menempatkan pertunjukan “wayang topeng anak-anak” ini sebagai alternatif jika benar-benar para wayang dewasa sudah tidak menaruh perhatikan pada kemampuannya; karena apa yang mereka miliki sudah tidak lagi memberikan arti penting dalam konstelasi sosial dan ritual penyangga kesejatraaan batin.
Munculnya “wayang topeng anak-anak” tidak terkait dengan fungsi wayang topeng pada masa lalu, atau pada dekade tahun 1970-an yang mampu menghantar Wayang Topeng Asmorobangun hingga menjapai pada popularitasnya pada tarap nasional.
Fenomena yang lain, yaitu usaha M.Soleh AP dalam membenahi Wayang Topeng Malang agar tampak lebih cantik dengan cara mengembangkan pada aspek penyajian dan dekorasi panggung; dengan mengusung lakon “Panji Reni” . Sungguhpun penyajian wayang topeng dari Padepokan Seni Mangundharmo tersebut didukung oleh penari-penari dari kelompok Wayang Topeng Asmorobangun dari Dusun Kedungmonggo Pakisaji. Hal ini tidak dapat dimaknai sebagai perkembangan linier dari wayang topeng Sri Margoutomo dari Dusun Glagahdowo yang berpadu dengan Wayang Topeng Asmorobangun dari Dusun Kedungmonggo Pakisaji.
Fenomena ini adalah realitas yang menjemput wisatawan. Karena ada usaha kuat di daerah Tulus Besar (Malang bagian timur) menjadi desa wisata yang memberikan dukungan wisatawan naik ke Gunung Bromo. Oleh sebab itu Padepokan Seni Mangundharmo memberikan dukungan secara produktif, dengan restorasi penyajian wayang topeng malang. Sehingga fenomena ini tidak juga dapat dimaknai sebagai sebuah “perkembangan” yang bersifat linier, tetapi ini adalah sebuah pemenggalan atau pemotongan dari kontinuitas wayang topeng tradisional menjadi penyajian wayang topeng yang bersifat romantik.
Kedua usaha tersebut di atas dapat dipandangan positif dalam pengertian usaha “pengembangan” kesenian tradisional. Tetapi dalam tropong pandangan DisKontinuitas, fenomena tersebut adalah akibat signivikan dari perubahan cara menyikapi kesenian tradisional. Maka dalam hal ini “perubahan” (atau dapat dimaknai sebagai perkembangan) sebenarnya tidak selalu datang atau diakibatkan dari pengaruh atau desakan dari luar, tetapi lebih dikarenakan oleh sikap dan cara berpikir kita; setidaknya disebabkan karena kesadaran yang dipicu oleh realitas masa kini dalam pemperlakukan kesenian. Maka dalam hal ini tentunya tidak dapat dimaknai; bahwa apa yang kita lakukan sekarang mempunyiai kaitan yang bersifat paradigmatik terhadap realitas masa lalu.
DisKonstruksi merupakan sebuah cara memandang fenomena sosial; dengan memberikan signal bagi mereka yang berusaha untuk membangun sebuah konstruksi linier (kontinuitas). Sebab dari sebuah masa waktu tertentu ada sebuah sekuatan komulatif yang mengkonstruk pemahaman umum; setidaknya kekuatan yang telah mencapai titik esensial membutuhkan sebuah pengakuan (legitimasi). Hal ini telah dibuktikan oleh para sejarawan konstruktifistik; bahwa mereka yang memegang kekuasaan cendrung membangun image prospektif dan merajut secara fenomena masa lalu sebagai bagian dari masa kini.
Maka usaha AM. Munardi BA menggali Wayang Topeng Malang adalah sebuah penggalan; usahanya mendapatkan support dari Dewan Kesenian Surabaya (pemerintah). Energi AM Munardi BA sebagai titik temu antara pengalaman pribadinya sebagai penari dan sekaligus koreografer menemukan tempat berlabuh; penggalan ini menyadarkan kita bahwa peristiwa dan proses perjumpaan AM. Munardi BA dengan Wayang Topeng Malang adalah sebuah proses tranformasi fungsi yang mampu menjalin sebuah proses dialogis dengan konsep besar pemerintah dalam upaya “pelestarian budaya”; sudah barang tentu dalam pengukuhan pristiwa tersebut melibatkan lembaga pendidikan seni tari (Konservatori Tari Surabaya). Dari pada itu muncul beberap karya sebagai materi pendidikan dan pengembaraan kreatif siswa-siswi Konservatori Tari Surabaya. Dialektika fungsi dan spirit penggalian seni taradisional mengoyak beberapa sendi konvesionalitas dilingkungan para pemangku tradisi Wayang Topeng Malang; sungguhpun usahanya mendapatkan sambutan yang hangat dari sahabatnya; Sal Murgiyanto. Sehingga pengalaman selama hampir 10 tahun bergelut dengan Wayang Topeng Malang di bukukan.
Ketika AM. Munardi BA tidak lagi mampu mendialekan fungsi dan spirit pemerintah dalam penggalian seni taradisional; maka semuanya sirna. Kemudian muncul fungsi baru dan berdialek dengan spirit yang lain; di penghujung tahun 2000-an Wayang Topeng di Gunungkawi menggeliat; menciptakan ivent spektakuler yaitu prosesi Ritual Topeng; sehingga muncul sebuah ritual pemandian (jamasan) topeng. Tradisi tersebut tidak lasim, tetapi fungsi yang sedang berproses di lingkungan masyarakat Gunungkawi menciptakan sebuah pemahaman baru. Mereka memaknai kembali apa yang telah mereka miliki sebagai aktrasi ritual semu.
Sekalilagi; sebuah proses metamorfosis yang melemparkan jubah tradisi yang lapuk dan menggantikan dengan spirit baru; makna lain; suasana lain; dan kepentingan lain yang terus mendekati pada pernyataan yang lebih kongkrit sebagai realitas; makna yang mewakili zamannya. Wayang Topeng Malang tidak lagi menjadi kaidah yang penting dalam mengalirkan nilai-nilai, tetapi menjadi sangat berharga sebagai sumber realitas yang muncul berhadapan dengan perubahan fungsi sosial seni pertunjukan. Maka siapapun yang sedang menggeluti seni pertunjukan tradisional, secara terus menerus senantiasa berusaha melakukan proses ”dialogis” dan menghayati spirit zamannya; proses metamorfosis menjadi pernyataan yang lebih nyata sebagai sebuah fenomena kerja yang bernilai finensial; seni adalah sebuah realitas “kerja” bukan lagi “sarana bakti puja” atau “ngayah”. Hal tersebut tidak dapat saling dipertentangkan. Maka pandngan fungsional menyatakan sebagai pergeseran; atau alih fungsi. Tetapi dalam pengandan Des-Kontinuitas adalah sebagai “skuen”; prahmentasi baru yang sedang mengadakan degosiasi dengan polo pikir masyarakat pendukungnnya.
Cara pendang Des-Kontinuitas membuka realitas dengan menyingkirkan jauh-jauh pandangan bahwa manusia (seniman) adalah pelaku budaya; sehingga realitas yang dialami hanya semata-mata karena “pola” yang seolah-oleh tampak satu sama lain saling memerankan dirinya dalam konteks budayanya; orentasi pada makna mitos, kelembagaan artistik yang memiliki makna konvensional. Pandangan Des-Kontinuitas benar-benar menaruh pergumulan realita dan nilai-nilai sesuai dengan kebutuhan dalam memecahkan persoalan sosial pada zamannya; maka nilai-nilai atau kearifan masalalu bisa jadi hanya sebagai “pernyataan”, tetapi bukan sebagai spirit yang dapat mengatasi pesoalan sosial masa kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon bimbingannya, kawulo nuwun samudraning pakartinipun...