Kamis, 08 April 2010

Definisi Silsilah

Definisi Silsilah

Menurut Kamus Basa Sunda oleh M.A. Satjadibrata, arti silsilah itu ialah rangkaian keturunan seseorang yang ada kaitannya dengan orang lain yang menjadi istrinya dan sanak keluarganya. Silsilah tersebut adalah merupakan suatu susunan keluarga dari atas ke bawah dan ke samping, dengan menyebutkan nama keluarganya.

Arti silsilah itu bersifat universal, yang artinya orang-orang di seluruh dunia mempunyai silsilah keturunannya dan pula, di seluruh benua akan dimaklumi, bahwa semua orang pasti akan mengagungkan leluhurnya. Kita sering membaca silsilah keturunan para raja yang termasuk sejarah atau silsilah para penguasa yang memerintah suatau daerah, baik yang ditulis pada prasasti maupun benda lain yang artinya bukan hanya untuk dikenal saja, tetapi untuk digaungkan oleh segenap masyarakatnya, dan dikenang akan jasa-jasanya.

Jelas bagi kita, bahwa yang dimaksud dengan silsilah itu, ialah suatu daftar susunan nama orang-orang yang merupakan susunan keturunan dari suatu warga atau dinasti (wangsa), misalnya Dinasti Sriwijaya, Dinasti Syailendra, dan dinasti-dinasti lainya yang pernah berkuasa.

Demikian pula dalam pewayangan, ada salah satu nama keluarga besar yang menggunakan nama leluhurnya, contoh Kurawa. Kurawa artinya keturunan raja Kuru yang dahulu pernah memerintah negara Astina dan menjadi leluhur prabu Suyudana beserta adik-adiknya. Demikian pula dengan keluarga Pandawa atau sering disebut Barata Pandawa. Nama barata adalah juga merupakan nama leluhurnya, yang pernah berkuasa di Astina, sehingga diabadikan oleh para Pandawa degan Sebutan keluarga Barata Pandawa.

Apa sebabnya Pandawa dan Kurawa memakai dua nama leluhurnya yang berbeda, padahal mereka itu dari satu nenek moyang ? mereka hanya menggunakan nama leluhurnya yang dipandang pada saat itu memerintah, sebagai orang yang patut dan wajar untuk diabadikan namanya menurut meraka masing-masing.

Maksud Adanya Silsilah

Maksud penyusunan silsilah ini adalah sebagai ucapan syukur kepada para leluhurnya yang telah memberi bimbingan serta mengayomi dan yang lebih utama lagi, adalah bahwa seseorang lahir ke dunia, adalah karena adanya leluhurnya itu.

Penyusunan silsilah keturunan ini mempunyai arti yang penting bagi suatu keluarga, seperti untuk mengetahui keturunan siapa orang itu, untuk mengetahui siapa dan bagaimana leluhurnya itu, dan yang utama sekali, ialah bagaimana pandangan masyarakat terhadap leluhurnya itu, untuk dijadikan kenangan secara turun-temurun, agar keturunannya tidak kehilangan jejak leluhurnya, agar dapat dijadikan kebanggaan seluruh keturunannya dan dapat pula dijadikan contoh bila leluhurnya salah seorang pahlawan.

Dari segi lainpun silsilah ini mempunyai maksud yang penting pula dan dapat dibenarkan oleh agama dan negara manapun juga. Ada beberapa sudut pandang tentang adanya silsilah, yaitu dari sudut perorangan, dari sudut lingkungan masyarakat, dan dari sudut kepercayaan.

Ditinjau dari segi perorangan, pangagunggan leluhurnya itu dimaksudkan agar perilaku yang pernah dijalankan para leluhurnya menjadi contoh bagi keturunnan yang ditinggalkan dan diceritakan kembali kepada keturunan berikutnya tentang betapa besar jasanya dan keagunganya leluhur mereka tersebut. Dalam hal ini tentu hanya kebaikan-kebaikan saja yang diceritakan kembali, Demikian pula kadang-kadang ada yang menceritakan kagagahan dan kesaktiannya.

Maksud silsilah seseorang dalam lingkungan masyarakat ini, adalah untuk dikenal dan dikenang oleh masyarakat agar dijadikan seorang pahlawan dalam sejarah hidup bangsa tersebut. Sedangkan maksud utama penggunaan silsilah ini adalah sebagai tanda terima kasih kepada para leluhurnya atas suatu usaha pemulyaan, sebagai kenangan akan kebaikannya dan usahanya dalam mengayomi dan menjaga keselamatan keturunannya atau usaha pelestarian keturunannya. Sesuai dengan kepercayaan penduduk, di Bali misalnya, lain lagi dengan di Jawa atau daerah lain yang menganut ajaran Islam, demikian pula dengan masyarakat yang memeluk agama lain. Walaupun berbeda kepercayaan, tetapi di setiap suku bangsa memegang teguh terhadap adat-istiadatnya. atau kebiasaan dalam cara mengagungkan leluhurnya.

Ditinjau dari segi kepercayaan, telah menjadi kewajiban seseorang atau sekeluarga untuk mengenang dan mengagungkan leluhurnya dengan cara dan peraturan kepercayaannya masing-masing yang dianutnya. Bagi penganut ajaran Islam, para leluhurnya tersebut tidak boleh disembah dan dipuja, kecuali dikenang dan diagungkan, karena hanya Tuhan sajalah yang disembah dan dipuja. Maksud mengagungkan leluhurnya tersebut, agar kebaikan-kebaikan yang pernah dilaksanakan para leluhurnya menjadi bagian bagi keturunannya dan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Adapun tujuan penyusunan silsilah adalah sebagai usaha pumuliaan artinya untuk memuliakan leluhurnya, usaha pelestarian kebijakan leluhurnya artinya agar leluhurnya itu tetap dikenang dan segala perilaku yang baik dijadikan contoh keturunannya. Kedua usaha tersebut disebut Dwi Dharma Bakti.

Penampilan Silsilah

Secara umum, penampilan silsilah tersebut hanya dipergunakan oleh orang-orang penting saja yang pada umumnya ditulis dalam buku-buku sejarah. Sedangkan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1610 sampai tahun 1942, hanya para raja dan para bupati saja yang silsilahnya ditullis dan disusun dalam kitab-kitab sejarah.

Pada zaman Pra sejarah atau kepercayaan Animisme Dinamisme di Indonesia, di mana masyarakat mendewakan semua benda hidup dari roh nenek moyangnya. Jelas bagi kita bahwa bangsa Indonesia sejak dahulu telah terbiasa mengagungkan leluhurnya yang diwujudkan dengan jalan upacara penyembahan leluhurnya, baik di rumah maupun di tempat yang khusus yang disediakan secara beramai-ramai.

Ketika kebudayaan Hindu berkembang di Indonesia pada umumnya, di Jawa pada khususnya, penyembahan terhadap roh itu tidaklah hilang hanya sifat dan bentuknya yang berubah. Selain mengagungkan leluhurnya dengan jalan menceritakan kembali kebaikannya, juga disatukan dengan penyembahan dan pemujaan terhadap para dewa yang menjadi mitos India, seperti Dewa Siwa, Dewa Wisnu, Dewa Brahma dan ada pula yang menyembah Batari Durga.

Dengan jalan demikian, maka kesusasteraanpun ada dua macam, yaitu Kitab Ramayana dan Kitab Mahabharata, disamping itu terdapat pula cerita-cerita legenda rakyat, seperti Prabu Mikukuhan, Sri Sadana, dan lain-lainya.

Lakon-lakon tersebut di atas, dipergelarkan di muka umum, sehingga tidak terbatas pada lingkungan keluarga saja, namun umumpun dapat mendengarkan kabaikan-kabaikan apa yang diperbuat oleh leluhurnya itu. Hal tersebut jelas bahwa pangagungan kepada leluhur bangsa Indonesia itu sangat menguntungkan bagi kemekaran kebudayaan Hindu, karena dalam upacara tersebut dapat pula disisipkan kisah para dewa, yang disampaikan kepada masyarakat dalam bentuk cerita Ramayana dan Mahabharata. Akhirnya kedua cerita yaitu cerita dari India dan legenda rakyat disatukan, dengan jalan cerita pokok dalam pergelaran tersebut, ialah kisah-kisah dari India dan adat kebiasaan hidup dan kehidupan serta kebiasaan lingkungan diambil dari kisah-kisah legenda rakyat.

Adapun cerita Mahabharata tersebut mengisahkan kepahlawanan Pandawa yang dianggap sebagai leluhur bangsa India, karena leluhur Pandawa menurut gaya India ialah raja Barata yang pernah memimpin di India. Karena silsilah Mahabharata gaya India tersebut tidak sesuai dengan adat kebiasaan dan lingkungan hidup bangsa Jawa, maka silsilah Mahabharata tersebut dirubah, seperti yang kita lihat pada Kitab Pustaka Raja Purwa, karya R, Ng. Ronggowarsito.

Disamping itu perlu pula diketahui bahwa Mahabharata adalah hasil sastra India yang berpusatkan kepada Dewa Siwa dan Kitab.

silsilah-mahabarata-india

Silsilah Bharata.

Meneliti silsilah wayang dalam cerita Mahabharata tersebut, kita akan mendapat kesulitan kiranya, karena pada cerita itu terdapat dua jalur silsilah yang dihasilkan oleh dua kepercayaan, yaitu silsilah Mahabharata gaya India dan silsilah Mahabharata versi Pustaka Raja Purwa.

Sebagaimana telah kita ketahui, cerita Mahabharata adalah hasil karya sastra India yang berpusatkan kepada Dewa Siwa, maka silsilahnyapun tentu silsilah yang berdasarkan cerita Hindu di India, dan bukan keturunan dari para Dewa, namun para Pandawa merupakan keturunan dari raja Nahusta, seorang raja di India.

Lain halnya dengan silsilah para Pandawa menurut gaya Indonesia, bahwa para Pandawa adalah keturunan dari para dewa. Dari dewa turun temurun sampai kepada raja-raja yang memerintah di tanah Jawa.

Cerita Mahabharata versi Indonesia tersebut telah disesuaikan dengan tradisi bangsa Indonesia, di mana yang menjadi pusat perhatian dan pusat perkembangan silsilah yaitu Batara Guru, maksudnya agar masyarakat pada waktu itu percaya bahwa para raja Jawa adalah keturunan para dewa.

Menurut Mahabharat versi India, susunan silsilah itu disusun sebagai berikut, raja pertama yang memerintah India ialah Prabu Nahusta sebagai pendiri negara Hastina yang menurunkan raja-raja yaitu Prabu Nahusta, Prabu Yayati, Prabu Kuru, Prabu Dusanta, Prabu Barata, Prabu Hasti, Prabu Puru, Prabu Pratipa, Prabu Santanu hingga sampai Pandawa dan Kurawa.

Prabu Yadawa menurunkan raja-raja yang memerintah Mathura, seperti: Basudewa, Baladewa, Kresna dan lain-lainya. Prabu Puru yang menurunkan raja-raja yang memerintah negara Hastina, seperti Sentanu, Abiyasa, Pandu, Duryudana, Parikesit.

Prabu Kuru berputra Prabu Dusanta yang menikah dengan Dewi Sakuntala dan berputra Prabu Barata yang namanya dipakai gelar/julukan para Pandawa, sedangkan nama Prabu Kuru dipakai gelar para Kurawa.

Prabu Barata dikaruniai seorang putra yang bernama Prabu Hesti yang namanya diabadikan menjadi nama negara Hastina. Hesti artinya gajah, negara Hastina artinya negara gajah.

Pemakaian nama leluhurnya sebagai gelar suatu golongan keluarga, dimaksudkan untuk mengagungkan dan menyemarakan salah seorang leluhurnya, karena jasanya, dan karena amalnya terhedap negara.

Penggunaan gelar leluhurnya yang berlainan dengan keluarga dekatnya yang menggunakan nama leluhurnya dalam satu rumpun atau satu keluarga, menandakan bahwa leluhurnya itu, kesemuanya adalah seorang raja yang patut dibanggakan dan namanya diabadikan.

silsilah-mahabarata-jawa

Silsilah Bharata Versi Pustaka Raja Purwa

Dalam perkembangan dan penyebaran di Indonesia, kedua cerita epos mitos tersebut bercampur dengan legenda-legenda rakyat, dan disampingnya masuk pula pengaruh kebudayaan Jawa asli sebagai peninggalan zaman Pra Sejarah dimana masyarakatnya berkepercayaan Animisme-Dinamisme.

Tokoh-tokoh yang pernah dipuja pada zaman Pra Sejarah, seperti Hyang Tunggal, Hyang Wenang, dimasukkan ke dalam silsilah Mahabharata dan dijadikan leluhur para Pandawa yang menurunkan raja-raja Jawa, sehingga merupakan silsilah campuran antara kepercayaan Hindu dan kepercayaan zaman Pra Sejarah. Maksud uraian ini adalah untuk menyatakan kepada masyarakat, bahwa para Pandawa adalah keturunan para Sang Hyang, demikian pula para raja yang memerintah pulau Jawa adalah keturunan para Pandawa.

Silsilah Mahabharata versi Pustaka Raja Purwa ini, dimulai dari Batara Guru yang menikah dengan Dewi Uma, berputra empat orang di antaranya Dewa Brahma dan Dewa Wisnu. Batara Brahma menikah dengan Dewi Raraswati berputrakan sebelas orang, di antaranya Batara Brahmanaraja yang menikah dengan Dewi Widati dan berputra Batara Parikenan. Sedangkan Batara Wisnu berputrakan Prabu Basurata yang menikah dengan putri Batara Brahma bernama Dewi Brahmaniyuta, dan berputrakan Dewi Brahmaneki.

Begawan Parikenan kemudian menikah dengan Dewi Brahmaniyuta berputrakan Dewi Kaniraras, Raden Kano, Raden paridarma. Karena Dewi Kaniraras putri sulung, maka calon raja di Purwacarita adalah Begawan Manumayasa yang menikah dengan Dewi Kaniraras. Raden Kano dan Raden Paridarma menjadi raja di negara lain. Dewi Kaniraras menkah dengan Begawan Manumayasa berputra Begawan Sekutrem dan menikah dengan Dewi Nilawati, dari pernikahan itu berputra Begawan Sakri yang menikah dengan Dewi Sati dan berputra Parasara.

Diceritakan, bahwa Begawan Parasara hendak menyeberangi Bengawan Jamuna, ia diseberangkan oleh seorang wanita yang badanya bau amis dan anyir karena menderita penyakitat bau anyir, dia adalah Dewi Rara Amis (Durgandini) putra Prabu Basuketi raja negara Wiratha. Dewi Rara Amis diobati Raden Parasara yang kemudian diperistri dan berputra Abiyasa, mereka bersama-sama membangun negara Gajahoya.

Perbedaan yang jelas dari kedua silsilah itu adalah silsilah Mahabharata versi India disebutkan leluhur Pandawa adalah Prabu Nahusta, leluhur Pandawa versi Pusta Raja Purwa adalah Sang Hyang.

Epos Mahabarata

Kisah ini menceritakan konflik hebat keturunan Pandu dan Dristarasta dalam memperebutkan takhta kerajaan. Menurut sumber yang saya dapatkan, epos ini ditulis pada tahun 1500 SM. Namun fakta sejarah yang dicatat dalam buku tersebut masanya juga lebih awal 2.000 tahun dibanding penyelesaian bukunya. Artinya peristiwa yang dicatat dalam buku ini diperkirakan terjadi pada masa ±5000 tahun yang silam.

Buku ini telah mencatat kehidupan dua saudara sepupu yakni Kurawa dan Pandawa yang hidup di tepian sungai Gangga meskipun akhirnya berperang di Kurukshetra. Namun yang membuat orang tidak habis berpikir adalah kenapa perang pada masa itu begitu dahsyat? Padahal jika dengan menggunakan teknologi perang tradisional, tidak mungkin bisa memiliki kekuatan yang sebegitu besarnya.

Spekulasi baru dengan berani menyebutkan perang yang dilukiskan tersebut, kemungkinan adalah semacam perang nuklir! Perang pertama kali dalam buku catatan dilukiskan seperti berikut ini: bahwa Arjuna yang gagah berani, duduk dalam Weimana (sarana terbang yang mirip pesawat terbang) dan mendarat di tengah air, lalu meluncurkan Gendewa, semacam senjata yang mirip rudal/roket yang dapat menimbulkan sekaligus melepaskan nyala api yang gencar di atas wilayah musuh. seperti hujan lebat yang kencang, mengepungi musuh, dan kekuatannya sangat dahsyat.

Dalam sekejap, sebuah bayangan yang tebal dengan cepat terbentuk di atas wilayah Pandawa, angkasa menjadi gelap gulita, semua kompas yang ada dalam kegelapan menjadi tidak berfungsi, kemudian badai angin yang dahsyat mulai bertiup wuuus..wuuus.. disertai dengan debu pasir. Burung-burung bercicit panik seolah-olah langit runtuh, bumi merekah. Matahari seolah-olah bergoyang di angkasa, panas membara yang mengerikan yang dilepaskan senjata ini, membuat bumi bergoncang, gunung bergoyang, di kawasan darat yang luas, binatang-binatang mati terbakar dan berubah bentuk, air sungai kering kerontang, ikan udang dan lainnya semuanya mati. Saat roket meledak, suaranya bagaikan halilintar, membuat prajurit musuh terbakar bagaikan batang pohon yang terbakar hangus.

Jika akibat yang ditimbulkan oleh senjata Arjuna bagaikan sebuah badai api, maka akibat serangan yang diciptakan oleh bangsa Alengka juga merupakan sebuah ledakan nuklir dan racun debu radioaktif.

Gambaran yang dilukiskan pada perang dunia ke-2 antara Rama dan Rahwana lebih membuat orang berdiri bulu romanya dan merasa ngeri: pasukan Alengka menumpangi kendaraan yang cepat, meluncurkan sebuah rudal yang ditujukan ke ketiga kota pihak musuh. Rudal ini seperti mempunyai segenap kekuatan alam semesta, terangnya seperti terang puluhan matahari, kembang api bertebaran naik ke angkasa, sangat indah. Mayat yang terbakar, sehingga tidak bisa dibedakan, bulu rambut dan kuku rontok terkelupas, barang-barang porselen retak, burung yang terbang terbakar gosong oleh suhu tinggi. Demi untuk menghindari kematian, para prajurit terjun ke sungai membersihkan diri dan senjatanya.

Banyak spekulasi bermunculan dari peristiwa ini, diantaranya ada sebuah spekulasi baru dengan berani menyebutkan bahwa perang Mahabarata adalah semacam perang NUKLIR!!

Tapi, benarkah demikian yang terjadi sebenarnya? Mungkinkah jauh sebelum era modern seperti masa kita ini ada sebuah peradaban maju yang telah menguasai teknologi nuklir? Sedangkan masa sebelum 4000 SM dianggap sebagai masa prasejarah dimana peradaban Sumeria dianggap peradaban tertua didunia tidak ditemukan kemajuan semacam ini?

Namun selama ini terdapat berbagai diskusi, teori dan penyelidikan mengenai kemungkinan bahwa dunia pernah mencapai sebuah peradaban yang maju sebelum tahun 4000 SM.

Teori Atlantis, Lemuria, kini makin diperkuat dengan bukti tertulis seperti percakapan Plato mengenai dialog Solon dan pendeta Mesir kuno mengenai Atlantis, naskah kuno Hinduisme mengenai Ramayana & Bharatayudha mengenai dinasti Rama kuno, dan bukti arkeologi mengenai peradaban Monhenjo-Daroo, Easter Island dan Pyramid Mesir maupun Amerika Selatan.

# Penelusuran fakta ilmiah
Akhir-akhir ini perhatian saya tertuju pada sebuah teori mengenai kemungkinan manusia pernah memasuki zaman nuklir lebih dari 6000 tahun yang lalu. Peradaban Atlantis di barat, dan dinasti Rama di Timur diperkirakan berkembang dan mengalami masa keemasan antara tahun 30.000 SM hingga 15.000 SM.

Atlantis memiliki wilayah mulai dari Mediteranian hingga pegunungan Andes di seberang Samudra Atlantis sedangkan Dinasti Rama berkuasa di bagian Utara India-Pakistan-Tibet hingga Asia Tengah. Peninggalan Prasasti di Indus, Mohenjo Daroo dan Easter Island (Pasifik Selatan) hingga kini belum bisa diterjemahkan dan para ahli memperkirakan peradaban itu berasal jauh lebih tua dari peradaban tertua yang selama ini diyakini manusia (4000 SM). Beberapa naskah Wedha dan Jain yang antara lain mengenai Ramayana dan Mahabharata ternyata memuat bukti historis maupun gambaran teknologi dari Dinasti Rama yang diyakini pernah mengalami zaman keemasan dengan tujuh kota utamanya ‘Seven Rishi City’ yg salah satunya adalah Mohenjo Daroo (Pakistan Utara).

Dalam suatu cuplikan cerita dalam Epos Mahabarata dikisahkan bahwa Arjuna dengan gagah berani duduk dalam Weimana (sebuah benda mirip pesawat terbang) dan mendarat di tengah air, lalu meluncurkan Gendewa, semacam senjata yang mirip rudal/roket yang dapat menimbulkan sekaligus melepaskan nyala api yang gencar di atas wilayah musuh, lalu dalam sekejap bumi bergetar hebat, asap tebal membumbung tinggi diatas cakrawala, dalam detik itu juga akibat kekuatan ledakan yang ditimbulkan dengan segera menghancurkan dan menghanguskan semua apa saja yang ada disitu.

Yang membuat orang tidak habis pikir, sebenarnya senjata semacam apakah yang dilepaskan Arjuna dengan Weimana-nya itu?

Ada beberapa penelitian yang berusaha menguak tabir misteri kehidupan manusia di masa lampau ini. Tentang bagaimana kehidupan sosial hingga kemajuan ilmu dan teknologi mereka. Beberapa waktu belakangan banyak hasil penelitian yang mengejutkan. Dan dari berbagai sumber yang telah saya pelajari, secara umum penggambaran melalui berbagai macam teori dan penelitian mengenai subyek ini telah pula memberikan beberapa bahan kajian yang menarik, antara lain adalah:

Permulaan sebelum dua milyar tahun hingga satu juta tahun dari peradaban manusia sekarang ini teryata telah terdapat peradaban manusia. Dalam masa-masa yang sangat lama ini terdapat berapa banyak peradaban yang demikian maju namun akhirnya menuju pada sebuah kebinasaan? Dan penyebab kebinasaan itu adalah tiada lain akibat peperangan yang pernah terjadi.

Atlantis dan Dinasti Rama pernah mengalami masa keemasan (Golden Age) pada saat yang bersamaan (30.000-15.000 SM). Keduanya sudah menguasai teknologi nuklir. Keduanya memiliki teknologi dirgantara dan aeronautika yang canggih hingga memiliki pesawat berkemampuan dan berbentuk seperti UFO (berdasarkan beberapa catatan) yang disebut Vimana (Rama) dan Valakri (Atlantis).

Penduduk Atlantis memiliki sifat agresif dan dipimpin oleh para pendeta (enlighten priests), sesuai naskah Plato. Dinasti Rama memiliki tujuh kota besar (Seven Rishi’s City) dengan ibukota Ayodhya dimana salah satu kota yang berhasil ditemukan adalah Mohenjo-Daroo. Persaingan dari kedua peradaban tersebut mencapai puncaknya dengan menggunakan senjata nuklir.

Para ahli menemukan bahwa pada puing-puing maupun sisa-sisa tengkorak manusia yang ditemukan di Mohenjo-Daroo mengandung residu radio-aktif yang hanya bisa dihasilkan lewat ledakan Thermonuklir skala besar. Dalam sebuah seloka mengenai Mahabharata, diceritakan dengan kiasan sebuah senjata penghancur massal yang akibatnya mirip sekali dengan senjata nuklir masa kini.

Beberapa Seloka dalam kitab Wedha dan Jain secara eksplisit dan lengkap menggambarkan bentuk dari ‘wahana terbang’ yang disebut ‘Vimana’ yang ciri-cirinya mirip piring terbang masa kini. Sebagian besar bukti tertulis justru berada di India dalam bentuk naskah sastra, sedangkan bukti fisik justru berada di belahan dunia barat yaitu Piramid di Mesir (Foto: relief jenis pesawat di Piramida Mesir di bawah ini) dan Amerika Selatan.
Foto: relief jenis pesawat di Piramida Mesir

relief pesawat terbang dan helikopter di Mesir

Dari hasil riset dan penelitian yang dilakukan ditepian sungai Gangga di India, para arkeolog menemukan banyak sekali sisa-sisa puing-puing yang telah menjadi batu hangus di atas hulu sungai. Batu yang besar-besar pada reruntuhan ini dilekatkan jadi satu, permukaannya menonjol dan cekung tidak merata. Jika ingin melebur bebatuan tersebut, dibutuhkan suhu paling rendah 1.800 °C. Bara api yang biasa tidak mampu mencapai suhu seperti ini, hanya pada ledakan nuklir baru bisa mencapai suhu yang demikian.

Di dalam hutan primitif di pedalaman India, orang-orang juga menemukan lebih banyak reruntuhan batu hangus. Tembok kota yang runtuh dikristalisasi, licin seperti kaca, lapisan luar perabot rumah tangga yang terbuat dari batuan didalam bangunan juga telah dikacalisasi. Selain di India, Babilon kuno, gurun sahara, dan guru Gobi di Mongolia juga telah ditemukan reruntuhan perang nuklir prasejarah. Batu kaca pada reruntuhan semuanya sama persis dengan batu kaca pada kawasan percobaan nuklir saat ini.

Bukti ilmiah peradaban Veda. Bukti-bukti arkeologis, geologis telah terungkap dari penemuan fosil-fosil maupun artefak- alat yang digunakan manusia pada masa itu telah terbukti menunjukkan bahwa peradaban manusia modern telah ada sekitar ratusan juta bahkan miliaran tahun yang lalu. Bukti-bukti tersebut diungkapkan oleh Michael Cremo, seorang arkeolog senior, peneliti dan juga penganut weda dari Amerika, dengan melakukan penelitian lebih dari 8 tahun.

Dari berbagai belahan dunia termasuk juga dari Indonesia telah dapat mengungkapkan misteri peradaban weda tersebut secara bermakna. Laporan tersebut ditulis dalam beberapa buku yang sudah diterbitkan seperti ; Forbidden Archeology, The Hidden History of Human Race, Human Devolution: A Vedic alternative to Darwin’s Theory, terbitan tahun 2003. Dalam buku tersebut akan banyak ditemukan fosil, artefak- peninggalan berupa kendi, alas kaki, alat masak dan sebagainya yang telah berusia ratusan juta tahun bahkan miliaran tahun, dibuat oleh manusia yang mempunyai peradaban maju, tidak mungkin dibuat oleh kera atau primata yang lebih rendah.

Dari buku-buku tersebut juga ditemukan adanya manipulasi beberapa arkeolog dengan mengubah dimensi waktunya, hal ini bertujuan untuk mendukung teori evolusi Darwin, karena kenyataannya teori evolusi masih sangat lemah. Bukti ilmiah sudah dengan jelas menyatakan bahwa peradaban weda telah ada miliaran tahun. Para ilmuwan telah membuktikan bahwa perang besar di tanah suci Kukrksetra, kota Dwaraka, sungai suci Sarasvati dan sebagainya merupakan suatu peristiwa sejarah, bukan sebagai mitologi. Setiap kali kongres para arkeolog dunia selalu menyampaikan bukti-bukti baru tentang peradaban Barthavarsa purba. Dibawah ini ditampilkan sekelumit dari bukti ilmiah tersebut.

Sebenarnya masih banyak bukti ilmiah lainnya yang menunjukkan peradaban weda tersebut, sehingga Satya yuga, Tretha yuga, Dvapara yuga dan Kali yuga dengan durasi sekitar 4.320.000 tahun merupakan suatu sejarah peradaban manusia modern yang memegang teguh perinsip dharma.

Perang Bharatayuda. Para arkeolog terkemuka dunia telah sepakat bahwa perang besar di Kuruksetra merupakan sejarah Bharatavarsa (sekarang India) yang terjadi sekitar 5000 tahun yang lalu. Sekarang para peneliti hanya ingin menentukan tanggal yang pasti tentang peristiwa tersebut. Dari hasil pengamatan beserta bukti-bukti ilmiah. Dari berbagai estimasi maka dibuatlah suatu usulan peristiwa-peristiwa sebagai berikut:

* Sri Krishna tiba di Hastinapura diprakirakan sekitar 28 September 3067 SM
* Bhishma pulang ke dunia rohani sekitar 17 Januari 3066 SM
* Balarama melakukan perjalanan suci di sungai Saraswati pada bulan Pushya 1 Nov. 1, 3067 SM
* Balarama kembali dari perjalanan tersebut pada bulan Sravana 12 Dec. 12, 3067 SM
* Gatotkaca terbunuh pada 2 Desember 3067 SM.

Dan banyak lagi penanggalan peristiwa-peristiwa penting sudah di kalkulasi.

* Kota kuno Dvaraka. Demikian juga keberadaan kota Dvaraka yang dulu menjadi misteri, kota tersebut disebutkan dalam Mahabharata bahwa Dvaraka tenggelam di pantai. Doktor Rao adalah seorang arkeolog senior yang dengan tekun menyelidiki dengan “marine archaeology” dan hasilnya ditemukannya reruntuhan kota bawah laut, beserta ornamennya, didaerah Gujarat. Dwaraka, kota kerajaan Sri Krishna masa lalu.

* Sungai Sarasvati. Keberadaan kota purba Harrapa dan Mohenjodaro serta keberadaan sungai suci Sarasvati telah dijumpai dalam Rig Weda, namun tidak diketahui keberadaannya, kemudian oleh NASA dengan pemotretan dari luar angkasa ternyata dijumpai sebuah lembah yang merupakan bekas sungai yang telah mengering, namun dalam kedalaman tertentu masih tampak ada aliran air di wilayah Pakistan yang bermuara ke lautan Arab, arahnya sesuai dengan yang digambarkan dalam sastra.

* Jembatan Alengka. Pemotretan luar angkasa yang dilakukan oleh NASA telah menemukan adanya jembatan mistrius yang menghubungkan Manand Island (Srilanka) dan Pamban Island (India) sepanjang 30 Km, dengan lebar sekitar 100 m, tampak pula jembatan tersebut buatan manusia dengan umur sekitar 1.750.000 tahun. Angka ini sesuai dengan sejarah Ramayana yang terjadi pada Tretha yuga. Sekarang sedang diteliti jenis bebatuannya. Jadi Ramayana itu adalah ithihasa (sejarah), bukan merupakan dongeng.

jembatan ramayana 2

Sri Rama Bridge 1

Sri Rama Bridge 2

Foto: Sri Rama Bridge hasil pantauan NASA

Citra dari Rama Brige sendiri sangat mudah terlihat dari atas permukaan air laut karena letaknya yang tidak terlalu dalam, yaitu hanya tergenang sedalam kira-kira 1,2 meter (jika air laut sedang surut) dengan lebar hampir 100 m.
Tahun 1972 silam, ada sebuah penemuan luar biasa yang barangkali bisa semakin memperkuat dugaan bahwa memang benar peradaban masa silam telah mengalami era Nuklir yaitu penemuan tambang Reaktor Nuklir berusia dua miliyar tahun di Oklo, Republik Gabon.
Foto: Peta Oklo, Republik Gabon

peta Oklo

oklo15_curtin

2004-05-Oklo

Foto: bekas Reaktor Nuklir Berusia 2 Milyar Tahun di Oklo, Republik Gabon.

* Pada tahun 1972, ada sebuah perusahaan (Perancis) yang mengimpor biji mineral uranium dari Oklo di Republik Gabon, Afrika untuk diolah. Mereka terkejut dengan penemuannya, karena biji uranium impor tersebut ternyata sudah pernah diolah dan dimanfaatkan sebelumnya serta kandungan uraniumnya dengan limbah reaktor nuklir hampir sama. Penemuan ini berhasil memikat para ilmuwan yang datang ke Oklo untuk suatu penelitian, dari hasil riset menunjukkan adanya sebuah reaktor nuklir berskala besar pada masa prasejarah, dengan kapasitas kurang lebih 500 ton biji uranium di enam wilayah, diduga dapat menghasilkan tenaga sebesar 100 ribu watt. Tambang reaktor nuklir tersebut terpelihara dengan baik, dengan lay-out yang masuk akal, dan telah beroperasi selama 500 ribu tahun lamanya.

Yang membuat orang lebih tercengang lagi ialah bahwa limbah penambangan reaktor nuklir yang dibatasi itu, tidak tersebarluas di dalam areal 40 meter di sekitar pertambangan. Kalau ditinjau dari teknik penataan reaksi nuklir yang ada, maka teknik penataan tambang reaktor itu jauh lebih hebat dari sekarang, yang sangat membuat malu ilmuwan sekarang ialah saat kita sedang pusing dalam menangani masalah limbah nuklir, manusia zaman prasejarah sudah tahu cara memanfaatkan topografi alami untuk menyimpan limbah nuklir!

Tambang uranium di Oklo itu kira-kira dibangun dua milyar tahun yang lalu setelah adanya bukti data geologi dan tidak lama setelah menjadi pertambangan maka dibangunlah sebuah reaktor nuklir ini. Mensikapi hasil riset ini maka para ilmuwan mengakui bahwa inilah sebuah reaktor nuklir kuno, yang telah mengubah buku pelajaran selama ini, serta memberikan pelajaran kepada kita tentang cara menangani limbah nuklir.

Sekaligus membuat ilmuwan mau tak mau harus mempelajari dengan serius kemungkinan eksistensi peradaban prasejarah itu, dengan kata lain bahwa reaktor nuklir ini merupakan produk masa peradaban umat manusia. Seperti diketahui, penguasaan teknologi atom oleh umat manusia baru dilakukan dalam kurun waktu beberapa puluh tahun saja, dengan adanya penemuan ini sekaligus menerangkan bahwa pada dua miliar tahun yang lampau sudah ada sebuah teknologi yang peradabannya melebihi kita sekarang ini, serta mengerti betul akan cara penggunaannya.

Semua temuan arkeologis ini sesuai dengan catatan sejarah yang turun-temurun. Kita bisa mengetahui bahwa manusia juga pernah mengembangkan peradaban tinggi di India pada 5.000 tahun silam, bahkan mengetahui cara menggunakan reaktor nuklir, namun oleh karena memperebutkan kekuasaan dan kekayaan serta menggunakan dengan sewenang-wenang, sehingga mereka mengalami kehancuran.

Singkatnya segala penyelidikan diatas berusaha menyatakan bahwa umat manusia pernah maju dalam peradaban Atlantis dan Rama. Bahkan jauh sebelum 4000 SM manusia pernah memasuki abad antariksa dan teknologi nuklir. Akan tetapi zaman keemasan tersebut berakhir akibat perang nuklir yang dahsyat hingga pada masa sesudahnya, manusia sempat kembali ke zaman primitif. Masa primitif ini berakhir dengan munculnya peradaban Sumeria sekitar 4000 SM atau 6000 tahun yang lalu.

Lagi-lagi perang dan haus kekuasaanlah yang mengakibatkan manusia menjadi terpuruk. Dan hal ini patut kita renungkan lebih seksama sebagai buah pelajaran bahwa mengapa manusia zaman prasejarah yang memiliki sebuah teknologi maju tidak bisa mewariskan teknologinya, malah hilang tanpa sebab, yang tersisa hanya setumpuk jejak saja. Lalu bagaimana kita menyikapi atas penemuan ini?

Saudaraku, sebagai manusia sekarang, jika kita abaikan terhadap semua peninggalan-peninggalan peradaban prasejarah ini, sudah barang tentu kita pun tidak akan mempelajarinya secara mendalam, apalagi menelusuri bahwa mengapa sampai tidak ada kesinambungannya, lebih-lebih untuk mengetahui penyebab dari musnahnya sebuah peradaban itu. Dan apakah perkembangan dari ilmu pengetahuan dan teknologi kita sekarang akan mengulang seperti peradaban beberapa kali sebelumnya? Betulkah penemuan ini, serta mengapa penemuan-penemuan peradaban prasejarah ini dengan teknologi manusia masa kini begitu mirip? Semua masalah ini patut kita renungkan dalam-dalam sebagai upaya tidak mengulangi kesalahan fatal yang pernah dilakukan.

Senin, 05 April 2010

Padepokan Seni Mangun Dharma Wijaya Kusuma

M. Soleh Adi Pramono yang akrabnya dipanggil pak sholeh adalah seorang koreografer, dalang, dalang ruwatan, dosen tamu dan artistik direktur Pusat Seni Mangun Dharma. Misinya adalah untuk mempertahankan semangat seni tradisional dan ritual lokal dengan membawa mereka ke masyarakat luas. Tradisi di mana sebagian besar telah menghilang sepanjang sisa Jawa, pak Soleh mempertahankan tradisi membuat persembahan rohani yang mengubah kehidupan acara-acara seperti pernikahan, circumcisions, 7-bulan upacara untuk bayi yang belum lahir, upacara menyentuh tanah, dan pemurnian masyarakat, slamatan desa, dan tradisi-tradisi lainnya.
Istilah “Perkembangan” perlu disimak lebih intensif, mengingat istilah tersebut dimaknai sebagai sebuah pelipat gandaan, bertambah maju, dikenal semakin luas; besar, atau kuat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 538). Tentunya di antara pengertian tersebut mengisyaratkan “ada pokok” yang tumbuh secara berkesinambungan. Pandangan tersebut merupakan teori yang sangat popular di lingkungan pengkajian Seni di Indonesia. Salah satu pakar dibidang teori tersebut adalah Prof. Dr. RM. Soedarsono.
Teori tersebut sangat intens mencermati fenomena kesenian yang ditropong dari sisi kontinuitas (kebersinambungan); teori tersebut secara teknis memfokuskan pada aspek “fungsi kesenian”; artinya ranah pengkajiannya lebih condong ke aspek sosiologis-historik; hal ini memandang “material” secara diakronis, tetapi lebih menekankan pada pola penurunan genetikan interlektual dan kebiasaan budaya sebuah masyarakat; pandangan strukturalisme menekankan pada aspek Sintakmatis-Paradigmatik. Seperti pikiran Soenarto Tomer dalam salah satu makalahnya sebagai berikut:

…kesenian topeng Panji Jabung, Kedungmonggo, dan tempat-tempat lain di sekitar Malang, adalah sisa-sisa peninggalan Topeng Panji dari zaman Singasari dan Majapahit. Dengan melalui kemungkin – kemungkian pasang surat, (tidak mustilahil lebih banyak surutnya, dan bahkan pun berjalan terputus-putus untuk kemudian bersinambungan lagi), kesenian Topeng Panji itu berkembang secara alami dari masa ke masa, sampai akhirnya mencapai wujud yang sekarang. Karena perkembangannya yang alami itu, maka sedikit banyak menyimpan orsinalitasnnya (Timoer, 1989: 13).


Wayang topeng yang muncul di Jawa Timur di anggap sebagai “akar” yang memberikan bentuk dan warna pada berbagai jenis wayang topeng yang berkembang di Jawa. Hal ini menyiratkan adanya uapaya mencermati eksistensial wayang topeng ”wetanan” dalam ruang lingkup multidisipliner, maka hal tersebut mengisyaratkan adanya sebuah cara pandang lama yang bersifat konservatif. Artinya nilai-nilai lama yang berkembang dalam masyarakat sebagai satu-satunya upaya konstruktif. Hal tersebut tidak terlalu “berdosa” dan memang secara fungsional semua orang masih mendang sebuah kebutuhan “primer”. Untuk memberikan sebuah alternatif cara pandang yang berbeda penulis menyodorkan sub topik yang akan dikemukakan pada makalah ini, yaitu Kontinuitas dan Dis-kontinuitas Wayang Topeng Di Malang. Topik ini dimaksudkan memaparkan tentang “kebersinambungan dan ketidak berkesimbanguan”. Sebab selama ini sudah banyak tulisan-tulisan yang mencoba mencermati fenomena kontinuitas (kebersinambungan); artinya semua persoalan diarahkan mencari ”akar”, pokok dari sebuah permasalahan pertumbuhan wayang topeng di Malang, serta mencari pola-pola pencabangan tentang gaya dan berbagai perbedaan yang ada.

KONTINUSITAS: ”model” Membangun Struktur
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, bahwa teori “kontinuitas” menjadi dasar untuk mencari sebuah model konstruktuf dari seni pertunjukan yang masih dapat direproduksi pada masa kini. Pikiran tersebut membentuk sikap yang selalu mencari pembenaran tentang fenomena masa kini, sehingga seolah-oleh fenomena masa kini tidak mampu membangun eksistensialnya sendiri. Pola pemikiran “kontinuitas” tersebut dapat disimak seperti pernyataan Soenarto Timoer, sebagai berikut:

…Topeng Panji Jabung dan Kedungmonggo yang sekarang. Jadi setelah 40 tahun lebih tidak mengalami perubahan busana yang berarti. Maka tidak jauh meleset kiranya, kalau kita berasumi, bahwa 40 tahunan sebelumnya 1938 (berdasarkan penelitian TH. Pigeaud) atau lebih, mungkin seabad, dua abad, tiga abad, atau empat abad sekalipun, mengingat kemiripannya dengan corak dandanan busana yang dipahatkan pada relief candi candi Jawa Timur, keadaannya masih tetap sama dengan coraknya yang sekarang. Dengan demikian pertunjukan Topeng Panji dari Jabung dan Kedhungmonggo boleh dikatakan masih memiliki orsinalitasnnya (Timoer. 1979/80: 21).


Sehingga terjadi pola pembenaran yang sifatnya fokloris, seperti pernyataan M. Soleh Adipramono pimpinan Padepokan Seni Mangundharmo dari Dusun Tulus Besar – Tumpang adalah salah satu keturunan dalang topeng bernama Kik Tirtonoto. M. Soleh Adipramono yakin bahwa tokoh bernama Reni dari Dusun Palawijen se zaman dengan tokoh topeng dari Pucangsongo bernana Kik Ruminten.
Kik Tirtonoto Tirtonoto pernah bercerita pada M. Soleh Adipramono, sebagai berikut:

…Ketika terjadi banjir kali Amprong; sungai yang bermataair di pegunungan Tenggger. Ruminten seorang penduduk Desa Pucangsonggo, kecamatan Pancokusumo pergi melihat sawahynya yang tergenang air. Waktu itu air masih pasang, sawah-sawah di desa itu semuanya terendam, bahkan di beberapa bagian diterjang derasnya air bah. Tiba-tiba didekat Ruminten terdapat potongan kayu, penduduk se tempat menyebut dengan istilah: Dugel. Batang kayu yang hanyut itu kemudian diambil; dengan harapan dapat digunakan bediang (perapian untuk penghangat ruangan). Setelah kayu tersebut dikeringkan, kemudian dibakar. Ternyata kayu tersebut tidak termakan api. Kemudian timbul niat untuk dijadikan topeng. Dari potongan kayu yang kurang lebih 50 Cm itu dibelah dan dipotong menjadi 4 bagian, masing-masing dijadikan topeng Klana, Gunungsari, Panji Asmorobangun, dan Patrajaya (Adipramono, wawancara tanggal 3 Januari 2003).

Topeng-topeng itulah dianggap pertama kali sebagai “cikal bakal” keberadaan Wayang Topeng di Pucangsanga sekitar awal abad XX. Bisa jadi keberadaan topeng di Pucangsanga tersebut yang pernah dicatat oleh Th. Pigeaud dari keterangan seorang lurah bernama Saritruno, di Pucangsanga. Kek Ruminten adalah kemenakan dari Reni, pengukir topeng dari Dusun Palawijen, Pigeaud mencatat;

Pada tahun 1928 di Kabupaten Malang terdapat 21 koleksi topeng. Pemain-pemain topeng yang terkenal asalnya dari desa Pucangsongo di kecamatan Tumpang; di zaman dahulu kepala desa tersebut, yang bernama: Saritruno, terkenal karena pandai menari topeng. Belum lama ini di Malang dan sekitarnya semua pemuda dan priyayi harus dapat menari topeng; karena itu pada pesta-pesta tidak jarang tari topeng dilakukan oleh para priyayi…topeng masih dibuat di kecamatan Karangploso (sekarang termasuk wilayah kecamatan Belimbing – Kota Malang) (Pigeaud. 1938: 217).

Karimoen pimpinan Wayang Topeng Asmorobangun di Desa Kedungmonggo (87 th) juga membenarkan bahwa pemahat topeng yang terkenal di Malang dari Karangploso yaitu di Desa Palawijen, sekarang Kecamatan Blimbing Kota Malang yang bernama: Reni. Reni adalah guru dari Gurawan dari Dusun Mbangeran – Wijiombo – Gunungkawi. Chattam AR mendapat data tentang orang yang bernama “Gurawan” adalah................................

Sejarawan Onghokham, juga mencatat kisah tentang Reni dan kelompok Wayang Topeng dari daerah lain. Onghokham juga secara khusus menceritakan tentang Reni, kaitannya dengan tokoh wayang topeng dari Desa Jabung, sebagai berikut:

In the 1930’s a well to do peasant called Reni live in this village, he was on of the gretest topeng carvers of the Malang style and led one of the best wayang topeng troupers of his time. In today’s wayang topeng world of Malang the village of Polowidjen is best known as Reni’s village. In his day the wayang topeng achieved one of its hig points. This development was certainly partly due to the patronage of the then bupati of Malang, R.A.A. Soeria-adiningrat, who supplied Reni with his matrials (gold leaf, good point, wood) and helped set artistik standards (Onghokham. 1972).

Pertunjukan wayang topeng di daerah Malang sejak zaman popuolaritas Reni telah tersebar di banyak tempat, khususnya di desa-desa. Soenarto Timoer juga memperhatikan persebaran Wayang Topeng, meliputi: Wajak, Dampit, Senggreng, Ngajum, dan di daerah lainnya. (Tomoer, 1989) Oleh sebab itu, tidak mustahil, jika sekitar tahun tahun l970-80-an masih ditemukan informasi tentang keberadaan tokoh-tokoh wayang topeng yang tersebar di berbagai desa di Kabupaten Malang. Seperti ditemukannya salah satu tokoh wayang topeng yang berusia 100 tahun (1985) yang bernama Wiji dari Desa Kopral Sumberpucung. Wiji memiliki sejumlah pengalaman yang pada umumnya tidak berbeda dengan tokoh-tokoh Wayang Topeng yang lain, seperti halnya Reni. Mbah Wiji yang pernah dikenal sebagai dalang wayang topeng, pengukir topeng, dan penari. Topeng-topengnya banyak dibeli oleh perkumpulan Wayang Topeng di Desa Jenggala, Kecamatan Kepanjen.
Seorang penari dan pemahat topeng, bernama Kusnan Ngaisah, lahir tahun 1928 di dusun Slelir, desa Bakalan Krajan, kota Malang. Sekarang Kusnan Ngaisah tidak lagi menekuni Wayang Topeng, karena membuat topeng tidak dapat memberikan penghasilan yang cukup. Sehingga Kusnan memilih menjadi tukang kayu dan bangunan.
Kusnan Ngaisah berhenti menjadi penari topeng, pengukir topeng dan sekaligus pempinan wayang topeng di desanya sejak tahun 1960-an. Karena wayang topeng terdesak popularitas Ludruk, akibatnya tanggapan menjadi berkurang. Di samping itu juga sangat sukar melakukan kaderisasi; para pemuda di desanya sudah tidak tertarik menjadi penari.
Perihal perkembangan wayang topeng di Dusun Slelir. Kusnan banyak belajar dari kakek mertuanya, yaitu Embah (kakek) Nata. Penduduk se tempat menyebut Yai Nata. Yai Nata adalah salah seorang pengukir kayu, termasuk piawai mengukir topeng. Waktu itu, Yai Nata juga mengenal pengukir topeng dan sekaligus penari topeng yang terkenal bernama Reni dari Polowijen.
Jika Reni tinggal di daerah Malang bagian utara, sedangkan Yai Nata tinggal di daerah Malang sebelah Barat. Sehingga perkumpulan topeng yang ada di Malang bagian barat dan selatan memesan topeng dai Yai Nata. Termasuk perkumpulan Wayang Topeng dari Desa Jatiguwi, Kecamatan Sumberpucung.
Keberadaan wayang topeng di Dusun Selelir berasal dari seorang pelatih dari Desa Panjer, Turen, Kabupaten Malang. Waktu itu sekitar tahun l930-an, Kusnan masih kecil, belum khitan. Tapi sudah sering melihat orang berlatih menari, waktu itu yang membuatkan perlengkatan pentas; termasuk topeng adalah Yai Nata. (Kusnan Ngaisah, wawancara tanggal 9 Januari 2003).
Ternyata sekitar tahun 1930-an, di Malang cukup banyak perkumpulan wayang topeng, satu perkumpulan dengan perkumpulan lainnya saling berhubungan. Kontak antara satu perkumpulan dengan perkumpulan lain dikarenakan oleh perlengkapan yang tidak dapat dibuat sendiri, khususnya topeng. Di samping berkaitan dengan aspek pelatihan tari. Seperti Samut sebagai penari Gunungsari, bersama dengan kik. Tirtonoto anak dari kik Rusmaman; penari gagahan dan juga pengendang, dan kik. Rakhim yang mengembangkan Wayang Topeng di Malang bagian Timur hingga tahun l970-an ( Murgiyanto & Munardi, 1978/79: 31).
Munardi salah seorang guru SMK IX (d/h SMKI) Surabaya yang mulai tahun l972 tertarik dengan keberadaan wayang topeng di Malang. Kemudian beliau mengadakan pengamatan perkembangan wayang topeng di Malang. Kemudian pada seniman-seniman pertunjukan yang tergabung di Dewean Kesenian Surabaya. Sejak saat itu, AM Munardi secara khusus mencurahkan perhatiannya pada perkembangan wayang topeng di Malang, bahkan telah menulis sebuah buku tentang Wayang Topeng Malang bersama Sal Murgiyanto. Tulisannya mengimformasikan sejumlah lokasi yang memiliki perkumpulan wayang topeng, sebagai berikut:

Di masa lalu pertunjukan Topeng Malang agaknya tersebar luas di berbagai wilayah kebupaten Malang; Dampit, Precet, Wajak, Ngajum, Jatiguwi, Senggreng, Pucangsanga, Jabung, dan Kedungmongoo. Akan tetapi sekarang (akhir tahun 1970-an) kecuali di Jabung dan Kedungmonggo, kehidupan wayang topeng di daerah-daerah lain nampak telah sangat menurun karena beberapa sebab, sehingga dewasa ini para pemain dari desa-desa yang lain banyak yang kemudian bergabung dengan rombongan wayang topeng dari dua desa yang disebutkan terakhir: Jabung, Kecamtan Jabung bekas Kawedanan Tumpang dan desa Kedungmonggo – Karangpandan, Kecamatan Pakisaji bekas Kawedanan Kepanjen. (Murgiyanto & Munardi, 1978/79: 7-8)

Sepanjang tahun 1980-an hingga tahun 1990-an, partisipasi masyarakat dan juga sejumlah instansi swasta dan pemerintah sangat besar, hal ini dibuktikan adanya usaha-usaha pemasyarakatan kembali pertunjukan wayang topeng yang ada di berbagai daerah. Kini perkumpulan yang masih dapat tampil adalah: Perkumpulan Wayang topeng “Karya Bakti” dari Desa Jabung yang diketuai oleh Parjo, perkumpulan wayang topeng “Srimarga Utama” dari Desa Glagahdowo yang dipimpin oleh Rasimoen, perkumpulan wayang topeng “Asmarabangun” dari Desa Kedungmonggo, dan perkumpulan wayang topeng “Candrakirana” dari Desa Jambuer pimpinan Barjo Djiyono, dan Padepokan Seni Mangun Dharma pimpinan Moch. Soleh Adipramono.
Chattam AR seorang seniman Wayang Topeng, salah satu murid dari Karimoen menceritakan perihal salah seorang tokoh wayang topeng bernama, Wiji dari Dusun Kopral, Sukowilangun. Wiji merupakan salah satu tokoh yang sejajar dengan Reni atau Yai Nata. Karena Wiji sudah berusia lebih dari 90 tahun, maka tidak banyak diketahui oleh seniman muda di Malang. Wiji baru diketahui ketokohannya oleh seniman-seniman tari di Malang sekitar tahun 1985.Waktu itu Wiji sudah berusia sekitar 110 tahun lebih (tahun 1985. Waktu Wiji Masih muda seringkali pentas di pendapa Kabupaten Malang. Waktu itu yang menjadi Bupati di Malang adalah Raden Djapan (sekitar tahun 1950-an)..
Wiji menceritakan pada Chattam AR, perkumpulan wayang topeng yang dipimpinnya menyelenggarakan pentas terakhir di pendapa Kabupaten Malang sekitar tahun 1960. Setelah itu, banyak anggotanya yang memutuskan untuk mengikuti program transmigrasi ke Sumatra (Chatam AR, wawancara 3 Maret 2003).
Pada akhir tahun 2000, perkumpulan wayang topeng yang masih aktif pementasan berasal dari dua desa; (1) Perkumpulan Wayang Topeng Asmarabangun dari Dusun Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, (2) Perkumpulan wayang topeng Sri Margautama dari Dusun Geladahdowo, Kecamatan Tumpang.
Selain dua perkumpulan tersebut, juga ada dua perkumpulan yang termasuk perkumpulan topeng cukup tua di Malang. Tetapi karena mengalami kendala regenerasi, maka perkumpulan tersebut tidak dapat mengadakan pentas secara intensif.
Perkumpulan wayang topeng yang mulai surut tersebut adalah (1) Perkumpulan Wayang Topeng Galuh Candrakirana dari Desa Jambuwer-Kecamatan Sumberpucung pimpian Bardjo Djiyono, dan (2) Perkumpulan Wayang Topeng Wira Bakti dari Desa Jabung-Kecamatan Tumpang pimpinan Pardjo.
Keempat perkumulan Wayang Topeng yang dikemukakan tersebut secara bervariasi memiliki repertoar konvensional, yaitu kisah romantik yang disebut “Lakon Panji”. Adapun lakon-lakon yang dianggap tradisional, terdiri dari (1) Rabine Panji, (2) Saimbara Sadalanang, (3) Walangwati – Walangsumirang, (4) Gunungsari Kembar, (5) Panji Laras, (6) Panji Kembar, (7) Kayu Apyun, (8) Wadhal Werdhi, (9) Lembu Gumarang, (10) Melatih Putih Edan, (11) Sekar Tenggek Lunge Jangge, (12) Bader Bang Sisik Kencana, (13) Gajah Abuh atau Kudanarawangsa

Menyimak laporan Pigeaud (1938) pemukiman dan perekonomian di Malang sudah berkembang. Laporan beberapa Bupati yang memimpin daerah Malang (Kab.), tercatat nama-nama sebagai berikut: Raden Tumenggung Notodiningrat I (1819-1839), Raden Ario Adipati Notodiningrat II (1940-1884). Raden Tumenggung Notoniningrat III (….-1894), Raden Adipati Soerioadiningrat I atau Raden Sarip (…-1934), Ario Adipati Sam (1934-1945), Raden Soedono (…-1950). Priode pemerintahan Bupati Malang diambang zaman Kemerdekaan Republik Indonesia.
Berdasarkan informasi Pigeaud (1938) dari Bupati Malang Adipati Ario Surioadiningrat (wayang topeng di Kabupaten Malang tersebar di berbagai desa, sungguhpun Pigeaud (1938) melaporkan atas infromasi dari mantan Bupati Malang Adipati Ario Surioadiningrat I (1898-1934). Memunjukan, bahwa topeng merupakan ritus-magis yang dipatuhi oleh masyarakat di Malang. Di samping itu dimungkinkan pada waktu itu benar-benar menjadi sebuah sarana upacara, sehingga wayang topeng benar-benar mempu mengkonstruksi pikiran masyarakat ke masa silam;

Topeng pada mulanya dibuat dalam upacara kematian sebagai gambaran orang yang meninggal, yang kemudian dibuat sebagai gambaran roh nenek moyang. Maksud dari sebuah pertunjukan topeng pada awalnya adalah untuk “menghadirkan arwah nenek moyang” untuk menengok kerabat dan kaluarga yang masih hidup, dan dengan memakai kostum topeng serta perhiasan-perhiasan tertentu yang lain, penari topeng tersebut secara sementara menyediakan dirinya sebagai wadah atau rumah “roh” leluhur tersebut (Murgiyantyo, Sal & AM. Munardi. 1979/80: 20 –21).

Soenarto Timoer memberikan penegasan sebagai berikut:

Wayang mengemukakan tamsil ibart mistri kehidupan dengan menampilkan tokoh-tokoh yang dianggap mempersonfikasikan nenek moyang leluhur. Saya rasa istilah Belanda “Schimmenspel” lebih kena, karena “roh orang yang meninggal” . Ini sesuai dengan pula kehidupan budaya masyarakat animistik yang memuja roh nenek moyang yang sudah meninggal (Timoer, 1989: 8)

Suhardjo Parto dalam sebuah artikelnya berjudul: Bukan Animiseme Tetapi Shamanisme menjelaskan tentang wayang dan topeng, berdasarkan pandangan Eliade (1974), sebagai berikut:

Wayang dalam tradisi shamanisme berhubungan dengan pewarnaan wajah, dan hal ini berkaitan dengan upaya mengelabuhi arwah orang mati, jika shaman mengantarkannya menuju ke dunia arwah. Tarian shaman dan pewarnaan wajah telah mendasari tari topeng shamanistik (Parto, 1984: 303).

Murgiyanto & Munardi menjelaskan perihal pembuatan topeng sebagai rumah roh dan upacara kematian, sebagai berikut:
Topeng pada mulanya dibuat dalam upacara kematian sebagai gambaran orang yang meninggal, yang kemudian dibuat sebagai gambaran roh nenek moyang. Maksud dari sebuah pertunjukan topeng pada awalnya adalah untuk “ menghadirkan arwah nenek moyang” untuk menengok kerabat dan kaluarga yang masih hidup, dan dengan memakai kostum topeng serta perhiasan-perhiasan tertentu yang lain, penari topeng tersebut secara sementara menyediakan dirinya sebagai wadah atau rumah “roh” leluhur tersebut (Murgiyanto & Munardi.1979/88: 20-21).

DISKONTIUNITAS

Demikianlah, pola pikir “kontinuitas” yang sudah terbentuk dalam pikiran masyarakat secara luas. Hal ini juga dapat dibenarkan, karena kehidupan masa lalu memiliki “benang merah” dengan segala sesuatu yang sedang dinikmati pada masa kini. Sungguhpun demikian, setidaknya perlu berhenti sejenak, dan merenung sesaat, serta mengenali benar tentang kesadaraan kita pada saat ini. Apa yang kita pikirkan pada saat ini adalah sebuah pernyataan, sebuah ungkapan, sebuah gagasan yang memberikan arti penting agar kita mampu menghadirkan eksistensi secara otonom. Masa lalu adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dihapuskan, tetapi masa depan adalah sebuah kenyataan yang juga tidak dapat ditolak atau disangkal. Masa lalu yang lewat mengkonstruk pikiran sehingga kita memahami tentang “dunia” (dunia yang kita sadari), sungguhpun belum tentu itu merupakan realitas. Seperti pikiran tersebut di bawah ini;

Modernisasi dan pembangunan di dalam dua dekade terakhir ini telah membawa masyarakat kontemporer kita ke dalam berbagai sisi realitas-realitas baru kehidupan, seperti kenyataan, kesenangan, keterpesonaan, kesempurnaan penampilan, kebebasan hasrat. Akan tetapi, moderniasi dan pembangunan itu sebalinya telah menyebabkan kita kehilangan realias-ralitas masa lalu beserta kearifan-kearifan masa lampau yang ada di baliknya, yang justru lebih berharga bagi pembangunan diri kita sebagai manusia, seperti rasa kedalaman, rasa kebersamaan, rasa keindahan, semangat spiritualitas, semangat moralitas, dan semangat komunitas (Piliang, 1998: 29)

Kutipan ini menunjukan, bahwa pikiran kita benar-benar disibukan untuk berusaha menarik garis linier masa lalu dan melekakan sebagai sebuah tanda seru; bahkan lebih dari pada itu seolah-oleh menjadi isyarat agar apa yang mengalir deras bagaikan gelombang tampa ada tanggul penahan. Semua yang pernah ada akan terseret dan berserakan tampa arti, atau tidak mampu digunakan untuk menandai atau memberikan arti yang lebih besar pada kehidupan masa kini.
Penulis mencoba untuk memahami pikiran tersebut tidak dengan emosional; tetapi menyadari bahwa hidup ini adalah sebuah proses “dialegtika” yang menempatkan “fungsi” berhadapan dengan “kepentingan”. “Fungsi” dapat berkait dengan aktifitas dan material dan kepentingan merupakan motor penggerak yang bias menyeret ke arah tertentu.
Teori fungsional progresif ini melekat pada era modern dan konsep-konsep pembangunan. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah sikap memandang dan perlu sejenak menyadari tentang sesuatu yang telah kita alami. Apa yang telah mendorong ternyata tidak memiliki hubungan linier dengan masa lalu; demikian pula apa yang akan kita alami tidak memiliki hibungan, hokum sebab akibat sebagai sebuah dogmatis dapat dipertimbangkan. Tetapi jangkautan kedapan untuk bukan seperti seekor kuda yang menarik grobaknya. Semuanya bagaikan lapis (layer) yang satu dengan yang lain saling berdiri sendiri; kekterkaitan hanyalah sebuah realitas dialegtika antara “fungsi” dan “kepentingan”.
Keterpisahan (kesenjangan) itu memberikan arti penting untuk zamannya, bukan bagian masa lalu dan bukan untuk masa depan. Fenomena itu sekarang; saat sebuah proses sosial dan kesadaran kita saling bertautan secara interaktif berdasarkan kesepakatan dalam memfungsikan. Sehingga apa yang sedang kita lakukan sebenarnya tidak ada yang “hilang” atau “yang bertambah”. Realitas ada yang mampu kita pahami pada saat ini.
Pemahaman ini perlu untuk di coba di trapkan agar dapat melihat sebuah realitas seni pertunjukan; karena kesadaran pikir dengan cara “kontiunitas” adalah sebuah tafsiran yang setidaknya membawa “kepentingan” untuk memberikan kekuatan dalam pembenaran realias yang sedang terjadi sekarang. Padangan ini memang sangat sulit untuk dimulai, karena ketergantungan pikiran kita dengan pola pikir sebelumnya sangat besar; hal ini mengingat bahwa semua apa yang telah terbangun dalam pikiran kita adalah dikonstruksi oleh masa lalu. Tetapi bagaimana sebenaranya kita memandang realitas yang kita sadari sekarang dapat dimaknai sesuai dengan jiwa zaman kini.
Wayang topeng Malang pada masa kini, setidaknya dapat dipenggal pada sebuah tidik lapis sekitar tahun 1970-an, yaitu dimulai dari adanya ekspedisi dari DKS yang dikomandani oleh AM Munardi BA.
Munardi salah seorang guru SMK IX (d/h SMKI) Surabaya yang mulai tahun l972 tertarik dengan keberadaan wayang topeng di Malang. Kemudian Munardi mengadakan pengamatan perkembangan wayang topeng di Malang bersama seniman-seniman pertunjukan yang tergabung di Dewean Kesenian Surabaya. Sejak saat itu, AM Munardi secara khusus mencurahkan perhatiannya pada perkembangan topeng di Malang. Munardi kemudian berguru pada beberapa tokoh wayang topeng di daerah Timur, salah satunya adalah Samud. Penari legendaries yang memiliki pemahaman teknis yang bagus.
Sepotong data awal ini dapat disimak, bahwa kedatangan AM. Munardi BA ke Malang adalah sebuah upaya infentarisir materi untuk kepentingan kreativitas dan materi pengajaran di SMKI; hal ini terdorong oleh mencarian warna khas SMKI Surabaya agar memiliki identitas lokal yang jelas. Pemburuan ini sangat jelas, bawa bentuk dan sajian wayang topeng yang dipelajari AM. Munardi BA tidak mencari aspek-aspek orsinalitas, tetapi mencoba untuk mengangkat material yang memiliki kemampuan untuk dikembangkan sebagai modal kreatif; di samping mudah untuk dipelajari oleh siswa SMKI waktu itu.
Maka pada masa penjelajahan wayang topeng di Malang pada era tahun 1970-an itu diwarnai oleh sepirit pencarian materi kreatif dan kebutuhan materi pengajaran. Sehingga wayang topeng yang terangkat tidak menampakan aspek “magis dan religiusitasnya”. Mereka yang mempelajari atau yang menarikan sama sekali tidak menyadari aspek fungsi komunikasi spiritual penghormatan arwah nenek moyang.
Demikian juga para “maicenas” yang meletakan sikap sebagai “penyelamat” budaya dan dengan dalih mengambil cepat-cepat segala yang masih dapat diselamatkan. Energi yang dikobarkan untuk kepentingan tersebut tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan sebagai usaha konservasi. Hal ini telah dibuktikan, bahwa hadirnya Konri (Konservatori) pada tahun 1960-an yang berhasrat menciptakan titik sambung agar tidak terjadi pemutusan budaya. Tetapi yang terjadi adalah sebuah percepatan dan atau pengikisan secara lebih nyata. Fenomena dan cara bersifat inilah yang oleh Pilliang di sesalkan, maka dibutuhkan upaya baru untuk bersikap “baru” dalam memandang sesuatu sehingga “fungsi” dan “kepentingan” melahirkan nilai-nilai, kearifan, atau moralitas yang sesuai dengan jiwa zamannya.
Fenomena yang dapat disimak dari sepenggal cara bersikap, seperti menculnya “wayang topeng anak-anak” di lingkungan Wayang Topeng Asmorobangun dari Dusun Kedungmonggo Pakisaji. Menginjak tahun 2004, ketika anak wayang topeng yang dewasa sudah mulai tidak bersemangat, kemudian muncul pemain wayang topeng anak yang dilahih oleh Handoyo anak Taslan Harsono. Pada penggalan fenomena dimasa lalu tidak terekam adanya “wayang topeng anak-anak”. Pada sisi pandangan “kontinuitas” hal ini bernilai positif karena dapat dimaknai sebagai kemajuan. Tetapi tidak demikian dalam pandangan “DisKontinuitas”. Fenomena ini adalah sebuah petuang bagi orang dewasa agar dapat menempatkan pertunjukan “wayang topeng anak-anak” ini sebagai alternatif jika benar-benar para wayang dewasa sudah tidak menaruh perhatikan pada kemampuannya; karena apa yang mereka miliki sudah tidak lagi memberikan arti penting dalam konstelasi sosial dan ritual penyangga kesejatraaan batin.
Munculnya “wayang topeng anak-anak” tidak terkait dengan fungsi wayang topeng pada masa lalu, atau pada dekade tahun 1970-an yang mampu menghantar Wayang Topeng Asmorobangun hingga menjapai pada popularitasnya pada tarap nasional.
Fenomena yang lain, yaitu usaha M.Soleh AP dalam membenahi Wayang Topeng Malang agar tampak lebih cantik dengan cara mengembangkan pada aspek penyajian dan dekorasi panggung; dengan mengusung lakon “Panji Reni” . Sungguhpun penyajian wayang topeng dari Padepokan Seni Mangundharmo tersebut didukung oleh penari-penari dari kelompok Wayang Topeng Asmorobangun dari Dusun Kedungmonggo Pakisaji. Hal ini tidak dapat dimaknai sebagai perkembangan linier dari wayang topeng Sri Margoutomo dari Dusun Glagahdowo yang berpadu dengan Wayang Topeng Asmorobangun dari Dusun Kedungmonggo Pakisaji.
Fenomena ini adalah realitas yang menjemput wisatawan. Karena ada usaha kuat di daerah Tulus Besar (Malang bagian timur) menjadi desa wisata yang memberikan dukungan wisatawan naik ke Gunung Bromo. Oleh sebab itu Padepokan Seni Mangundharmo memberikan dukungan secara produktif, dengan restorasi penyajian wayang topeng malang. Sehingga fenomena ini tidak juga dapat dimaknai sebagai sebuah “perkembangan” yang bersifat linier, tetapi ini adalah sebuah pemenggalan atau pemotongan dari kontinuitas wayang topeng tradisional menjadi penyajian wayang topeng yang bersifat romantik.
Kedua usaha tersebut di atas dapat dipandangan positif dalam pengertian usaha “pengembangan” kesenian tradisional. Tetapi dalam tropong pandangan DisKontinuitas, fenomena tersebut adalah akibat signivikan dari perubahan cara menyikapi kesenian tradisional. Maka dalam hal ini “perubahan” (atau dapat dimaknai sebagai perkembangan) sebenarnya tidak selalu datang atau diakibatkan dari pengaruh atau desakan dari luar, tetapi lebih dikarenakan oleh sikap dan cara berpikir kita; setidaknya disebabkan karena kesadaran yang dipicu oleh realitas masa kini dalam pemperlakukan kesenian. Maka dalam hal ini tentunya tidak dapat dimaknai; bahwa apa yang kita lakukan sekarang mempunyiai kaitan yang bersifat paradigmatik terhadap realitas masa lalu.
DisKonstruksi merupakan sebuah cara memandang fenomena sosial; dengan memberikan signal bagi mereka yang berusaha untuk membangun sebuah konstruksi linier (kontinuitas). Sebab dari sebuah masa waktu tertentu ada sebuah sekuatan komulatif yang mengkonstruk pemahaman umum; setidaknya kekuatan yang telah mencapai titik esensial membutuhkan sebuah pengakuan (legitimasi). Hal ini telah dibuktikan oleh para sejarawan konstruktifistik; bahwa mereka yang memegang kekuasaan cendrung membangun image prospektif dan merajut secara fenomena masa lalu sebagai bagian dari masa kini.
Maka usaha AM. Munardi BA menggali Wayang Topeng Malang adalah sebuah penggalan; usahanya mendapatkan support dari Dewan Kesenian Surabaya (pemerintah). Energi AM Munardi BA sebagai titik temu antara pengalaman pribadinya sebagai penari dan sekaligus koreografer menemukan tempat berlabuh; penggalan ini menyadarkan kita bahwa peristiwa dan proses perjumpaan AM. Munardi BA dengan Wayang Topeng Malang adalah sebuah proses tranformasi fungsi yang mampu menjalin sebuah proses dialogis dengan konsep besar pemerintah dalam upaya “pelestarian budaya”; sudah barang tentu dalam pengukuhan pristiwa tersebut melibatkan lembaga pendidikan seni tari (Konservatori Tari Surabaya). Dari pada itu muncul beberap karya sebagai materi pendidikan dan pengembaraan kreatif siswa-siswi Konservatori Tari Surabaya. Dialektika fungsi dan spirit penggalian seni taradisional mengoyak beberapa sendi konvesionalitas dilingkungan para pemangku tradisi Wayang Topeng Malang; sungguhpun usahanya mendapatkan sambutan yang hangat dari sahabatnya; Sal Murgiyanto. Sehingga pengalaman selama hampir 10 tahun bergelut dengan Wayang Topeng Malang di bukukan.
Ketika AM. Munardi BA tidak lagi mampu mendialekan fungsi dan spirit pemerintah dalam penggalian seni taradisional; maka semuanya sirna. Kemudian muncul fungsi baru dan berdialek dengan spirit yang lain; di penghujung tahun 2000-an Wayang Topeng di Gunungkawi menggeliat; menciptakan ivent spektakuler yaitu prosesi Ritual Topeng; sehingga muncul sebuah ritual pemandian (jamasan) topeng. Tradisi tersebut tidak lasim, tetapi fungsi yang sedang berproses di lingkungan masyarakat Gunungkawi menciptakan sebuah pemahaman baru. Mereka memaknai kembali apa yang telah mereka miliki sebagai aktrasi ritual semu.
Sekalilagi; sebuah proses metamorfosis yang melemparkan jubah tradisi yang lapuk dan menggantikan dengan spirit baru; makna lain; suasana lain; dan kepentingan lain yang terus mendekati pada pernyataan yang lebih kongkrit sebagai realitas; makna yang mewakili zamannya. Wayang Topeng Malang tidak lagi menjadi kaidah yang penting dalam mengalirkan nilai-nilai, tetapi menjadi sangat berharga sebagai sumber realitas yang muncul berhadapan dengan perubahan fungsi sosial seni pertunjukan. Maka siapapun yang sedang menggeluti seni pertunjukan tradisional, secara terus menerus senantiasa berusaha melakukan proses ”dialogis” dan menghayati spirit zamannya; proses metamorfosis menjadi pernyataan yang lebih nyata sebagai sebuah fenomena kerja yang bernilai finensial; seni adalah sebuah realitas “kerja” bukan lagi “sarana bakti puja” atau “ngayah”. Hal tersebut tidak dapat saling dipertentangkan. Maka pandngan fungsional menyatakan sebagai pergeseran; atau alih fungsi. Tetapi dalam pengandan Des-Kontinuitas adalah sebagai “skuen”; prahmentasi baru yang sedang mengadakan degosiasi dengan polo pikir masyarakat pendukungnnya.
Cara pendang Des-Kontinuitas membuka realitas dengan menyingkirkan jauh-jauh pandangan bahwa manusia (seniman) adalah pelaku budaya; sehingga realitas yang dialami hanya semata-mata karena “pola” yang seolah-oleh tampak satu sama lain saling memerankan dirinya dalam konteks budayanya; orentasi pada makna mitos, kelembagaan artistik yang memiliki makna konvensional. Pandangan Des-Kontinuitas benar-benar menaruh pergumulan realita dan nilai-nilai sesuai dengan kebutuhan dalam memecahkan persoalan sosial pada zamannya; maka nilai-nilai atau kearifan masalalu bisa jadi hanya sebagai “pernyataan”, tetapi bukan sebagai spirit yang dapat mengatasi pesoalan sosial masa kini.